Indonesia tidak hanya lahir dari proklamasi, ia menyambung napas melalui kabel, sandi, dan keberanian. 27 September 1945 di Cilaki, Bandung, sekelompok anak muda PTT merebut kembali jantung komunikasi dari pendudukan, menyalakan transmisi sebuah negara. Delapan dekade kemudian, di alamat yang sama, getaran itu hidup di layar ponsel: dari prangko ke QR, dari loket ke aplikasi.Â
Napak Tilas: Mengapa 27 September Diperingati?Â
Hari Bhakti Postel lahir dari momen ketika AMPTT (Angkatan Muda Pos, Telegraf, dan Telepon) mengambil alih Kantor Pusat PTT di Bandung pada 27 September 1945. Di hari itu, bukan sekadar sebuah gedung yang dikuasai, sambungan Republik dipastikan berada di tangan bangsa sendiri. Jaringan pos, telegraf, dan telepon adalah urat nadi informasi pada masa awal kemerdekaan, menjaga koordinasi pemerintahan, menyebarkan kabar, menguatkan harapan. Itulah sebabnya, tiap 27 September, insan Pos Telekomunikasi mengenang keberanian yang membuat sinyal negeri tidak pernah terputus.Â
Berdampingan dengan Gedung Sate: Denyut Arsitektur yang Menyimpan JejakÂ
Sedikit kilas: Gedung Sate pada mulanya dibangun sebagai kantor Departemen Pekerjaan Umum dan Pengairan (Gouvernements Bedrijven) pada dekade 1920-an. Letak dan fungsinya menjadikan kawasan ini simpul administrasi paling strategis di Priangan---menempatkan urusan infrastruktur (jalan, jembatan, air) berdampingan dengan sambungan negara: pos, telegraf, dan telepon. Karena itu, kehadiran Gedung Post, Telegraph, dan Telephone di Cilaki bukan kebetulan, melainkan keputusan tata-kota yang sadar betul akan pentingnya konektivitas.
Sebagai konteks yang menyatu, mari kita menjejak persis ke titik lokasi. Alamatnya ringkas namun sarat makna: Jl. Cilaki No. 73, Bandung---satu kompleks dengan Gedung Sate. Di sinilah kantor PTT dirancang pada era Hindia Belanda. Batu pertama diletakkan 27 Juli 1920, bangunan dibuka 1931. Nama-nama arsitek J. Berger dan Landsgebouwendienst tercatat, dengan masukan H. P. Berlage; massa bangunannya berorientasi miring terhadap Gedung Sate untuk membentuk komposisi kawasan yang harmoni.
Fasadnya tegas, ritme jendela rapih, dan ruang dalamnya menampung memori panjang tentang bagaimana sebuah layanan publik bertahan melampaui rezim dan teknologi. Di halaman dan selasar, kita seolah mendengar gema langkah para pegawai pos berbaju khaki, aroma kertas, dan denting mesin ketik yang dulu menyalin berita.
Museum Pos Indonesia: Mengarsipkan Sambungan, Mengajar IngatanÂ
Di kompleks inilah Museum Pos Indonesia berdiri. Cikal bakalnya adalah Museum PTT (1931); setelah masa surut pascaperang, koleksi diperbarui dan dibuka kembali 27 September 1983 sebagai Museum Pos dan Giro, lalu sejak 1995 menyandang nama yang kita kenal sekarang.Â