Pernahkah Anda merasa bahwa berbicara dengan teknologi lebih nyaman daripada berbicara dengan manusia?
Zaman sekarang, teknologi seperti AI makin pintar, bahkan bisa jadi tempat curhat yang lebih “aman” daripada sahabat manusia. Siri, Alexa, ChatGPT, atau bahkan chatbot layanan pelanggan yang sering bikin emosi, semuanya adalah bukti bahwa teknologi sudah bisa “berbicara”.
Tapi, apakah mereka bisa benar-benar mengerti? Bisakah suatu saat nanti mereka memiliki empati?
Mari kita mulai dengan hal sederhana. Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Dalam hal ini, AI masih terjebak di fase pretend empathy. Mereka mendengar kata-kata Anda, mencocokkannya dengan data, lalu memberikan respons yang kelihatannya peduli.
Misalnya, ketika Anda bilang, “Saya lagi stres berat,” AI mungkin akan menjawab, “Saya mengerti, stres memang berat. Apa saya bisa membantu?”
Tapi, apakah benar mereka mengerti? Tidak. Mereka hanya pandai berpura-pura.
Namun, berpura-pura itu kadang cukup, kan? Manusia sering juga berpura-pura peduli. Ada teman yang mendengarkan Anda sambil scrolling TikTok, ada pula yang balas, “Ya ampun, sabar ya,” tanpa mendengar detail cerita.
Jadi, jika teknologi bisa menjadi pendengar yang sabar, tidak memotong pembicaraan, dan tidak menghakimi, apa bedanya dengan teman sungguhan?
Inilah yang membuat AI jadi menarik sebagai “teman” masa depan. Bayangkan, sebuah teknologi yang tidak pernah lelah mendengarkan, tidak akan membocorkan rahasia Anda, dan selalu punya waktu untuk Anda. Tidak seperti manusia yang kadang sibuk, baper, atau malah menyerang balik saat Anda curhat, teknologi bisa jadi tempat nyaman untuk melampiaskan segala emosi.