Ketika Alphard Menjadi Jerat: Harga Diri yang Ditebus Kekerasan
“Hidup tak selalu tentang memiliki, tetapi tentang menjaga nalar agar tak dikuasai nafsu memiliki.”
Oleh Karnita
Sengketa yang Membuka Luka Sosial
Bagaimana mungkin satu mobil mewah bisa mengantarkan sembilan orang pada jerat hukum dan empat orang lainnya pada ruang penyekapan? Pertanyaan ini mencuat setelah Kompas.com (19/10/2025) memuat laporan bertajuk “Duduk Perkara Sengketa Alphard Berujung Penyekapan di Pondok Aren.” Sebuah kisah yang bermula dari transaksi over kredit berakhir dengan penyiksaan dan penculikan.
Kasus ini menjadi refleksi getir dari wajah sosial kita hari ini: ketika gengsi dan keinginan memiliki mobil berharga miliaran lebih kuat daripada kesadaran hukum dan nalar moral. Bukan hanya pelaku yang terseret, tetapi juga nilai kemanusiaan yang ikut tercabik. Dalam situasi di mana ekonomi kian menekan dan gaya hidup makin menuntut, godaan untuk melanggar batas etika pun semakin menggoda.
Sebagai penulis, saya tertarik bukan semata karena dramanya yang mencengangkan, melainkan karena kasus ini membuka potret sosial yang lebih luas. Di balik berita tentang “penyekapan”, terselip kisah tentang hilangnya kontrol diri, lemahnya literasi hukum, dan rapuhnya solidaritas manusia modern. Apa yang tampak sebagai sengketa jual beli, sejatinya adalah cermin kecil dari kegagalan kita memahami makna kepemilikan dan tanggung jawab.
Transaksi ke Tragedi: Benang Kusut Alphard
Semua bermula sederhana: transaksi over kredit mobil Toyota Alphard antara Adrian (41) dan Nunung (52). Namun ketika pembayaran macet dan mobil berpindah tangan tanpa sepengetahuan pemilik awal, sengketa pun membara. Dari sinilah api kecil ketidakpercayaan berubah menjadi bara amarah. Adrian, yang merasa dirugikan, memilih jalur kekerasan sebagai bentuk “penegakan keadilan” versinya sendiri.
Namun inilah titik gelapnya: hukum diabaikan, logika dikubur. Kesepakatan tertulis kalah oleh dorongan emosi dan dendam. Alih-alih mencari penyelesaian melalui jalur hukum perdata, Adrian justru mengoordinasi penyekapan dan penyiksaan. Kasus ini menegaskan betapa mudahnya seseorang menyeberangi batas antara korban dan pelaku ketika rasa dirugikan dibiarkan tumbuh tanpa kendali.