Ketika Batu Bicara di Gunung Padang, Kita Sedang Menyimak Jejak Peradaban
"Warisan budaya bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan cermin cara kita menghargai masa depan."
Oleh Karnita
Menyimak Pemugaran yang Menyapa Wisatawan
Apakah mungkin sejarah bisa berbicara langsung kepada kita, lewat bebatuan yang diam namun menyimpan ribuan makna? Pertanyaan itu terasa hidup ketika membaca berita Kompas.com pada Minggu, 12 Oktober 2025, berjudul “Proses Pemugaran Situs Gunung Padang Bisa Disaksikan Langsung Wisatawan” oleh Firman Taufiqurrahman dan Irfan Maullana. Di Cianjur, Jawa Barat, situs megalitikum ini tengah menjalani pemugaran hati-hati oleh tim Kementerian Kebudayaan RI.
Yang menarik, wisatawan tetap boleh menyaksikan prosesnya dari zona aman. Sebuah langkah berani dan edukatif yang jarang dilakukan dalam konteks pelestarian warisan budaya. Ini bukan sekadar pekerjaan teknis, melainkan proses belajar publik tentang cara menjaga masa lalu tanpa kehilangan semangat kekinian.
Penulis tertarik mengulasnya karena Gunung Padang bukan sekadar situs purbakala. Ia adalah simbol dialog panjang antara sains, budaya, dan spiritualitas bangsa. Dalam situasi di mana warisan kerap dikorbankan atas nama pembangunan, pemugaran yang transparan dan terbuka ini memberi pesan moral kuat: kita tidak hanya membangun, tapi juga sedang menata cara berpikir tentang asal-usul dan jati diri.
1. Pemugaran sebagai Ruang Edukasi Publik
Pemugaran Gunung Padang kini bukan hanya proyek arkeologi, melainkan juga panggung edukasi budaya. Dengan membuka sebagian zona bagi wisatawan, Kementerian Kebudayaan secara tidak langsung mengajak masyarakat menjadi saksi proses pelestarian. Ali Akbar, Ketua Tim Kajian dan Pemugaran, menegaskan bahwa setiap langkah dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan hukum.
Langkah ini mengubah paradigma konservasi yang selama ini cenderung eksklusif dan tertutup. Masyarakat kini dapat melihat bahwa merawat situs purbakala bukan sekadar membenahi batu, tapi juga membangun kesadaran sejarah. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan budaya instan, menyaksikan batu-batu disusun kembali bisa menjadi pengalaman kontemplatif tentang waktu dan ketekunan.