Jembatan yang Tak Kuat Menanggung Amanah
“Pembangunan tanpa nurani adalah jembatan rapuh menuju bencana.”
Oleh Karnita
Ketika Infrastruktur Gagal Menjaga Anak Negeri
Apakah kita masih bisa menyebut pembangunan sebagai kemajuan jika keselamatan anak-anak menjadi taruhannya? Pertanyaan itu menyeruak setelah membaca berita “Baru Sebulan Dibangun, Jembatan Gantung di Pangandaran Roboh, 8 Anak Jadi Korban” yang terbit di Pikiran-Rakyat.com (4 Oktober 2025). Laporan ini bukan sekadar kabar kecelakaan—melainkan cermin rapuhnya sistem pengawasan infrastruktur kita.
Insiden robohnya jembatan di Dusun Nengklok, Desa Pajaten, Kecamatan Sidamulih, Kabupaten Pangandaran, menyisakan luka sosial yang lebih dalam dari sekadar luka fisik. Delapan pelajar SMP Islam Terpadu Daarul Hikmah yang terjatuh ke sungai hanyalah sebagian kecil dari korban mental akibat pembangunan yang serampangan. Dalam keheningan pascakejadian, yang tersisa adalah tanya besar: di mana tanggung jawab dan hati nurani para pemangku amanah publik?
Penulis tertarik mengulas kasus ini bukan karena sensasionalitasnya, tetapi karena urgensinya menyangkut keselamatan publik, integritas teknis, dan tanggung jawab moral negara terhadap warganya. Pembangunan yang baru sebulan berdiri lalu roboh bukanlah kebetulan, melainkan alarm keras tentang lemahnya pengawasan, etika kerja, dan akuntabilitas. Kini, masyarakat menuntut bukan sekadar perbaikan jembatan—melainkan perbaikan sistem.
1. Antara Gagahnya Beton dan Rapuhnya Etika
Setiap jembatan dibangun untuk menghubungkan dua tempat, tapi juga dua harapan: aman dan berfungsi. Ironisnya, di Pangandaran, harapan itu runtuh bersama tali sling yang putus. Pembangunan yang hanya memakan waktu sebulan seharusnya menimbulkan tanda tanya besar: apakah kecepatan mengalahkan kehati-hatian?
Masalah utama bukan sekadar teknis, melainkan etis. Dalam sistem pembangunan publik yang sarat dengan target seremonial dan pencitraan, kualitas sering kali dikorbankan demi kejar waktu dan tampilan. “Belum sempat diresmikan sudah roboh” adalah paradoks yang menohok: pembangunan fisik maju, tapi moral pembangunan stagnan.
Kasus ini mencerminkan perlunya audit sosial terhadap proyek infrastruktur daerah. Pemerintah tidak cukup meninjau dengan alat ukur teknis—perlu juga evaluasi moral dan sosial atas setiap pembangunan publik. Sebab jembatan tidak hanya menopang beban tubuh, tetapi juga beban kepercayaan masyarakat.
2. Anak Sekolah sebagai Korban Paling Sunyi
Siapa yang menyangka, perjalanan sederhana menuju sekolah bisa berakhir dengan trauma? Delapan pelajar SMP IT Daarul Hikmah menjadi saksi betapa rentannya keselamatan publik jika infrastruktur dibangun tanpa kejujuran. Mereka hanya ingin menyeberang untuk belajar, bukan untuk menjadi berita.
Tragedi ini bukan peristiwa tunggal, tetapi bagian dari pola kegagalan sistemik. Anak-anak sering menjadi korban diam dari kelalaian orang dewasa—baik dalam pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur. Luka fisik mereka mungkin sembuh, tetapi ketakutan saat jembatan bergoyang dan tubuh jatuh ke sungai akan tersimpan lama dalam ingatan.
Sudah seharusnya ada pendekatan psikososial bagi para korban muda. Sekolah, orang tua, dan pemerintah daerah mesti berkolaborasi untuk memulihkan kepercayaan mereka terhadap ruang publik. Sebab keselamatan adalah bagian tak terpisahkan dari pendidikan karakter dan rasa aman bernegara.
3. Infrastruktur Cepat, Akuntabilitas Lambat
Kita sering mendengar jargon “pembangunan cepat, pelayanan hebat”, tapi Pangandaran justru menunjukkan sebaliknya. Jembatan dibangun cepat—namun roboh lebih cepat lagi. Jika proyek yang belum genap sebulan berdiri bisa gagal, publik berhak bertanya: siapa yang mengawasi? siapa yang menandatangani laporan kelayakan?
Fenomena ini memperlihatkan lemahnya sistem monitoring dan evaluasi publik (monev). Banyak proyek infrastruktur daerah masih dikerjakan tanpa mekanisme kontrol ketat, hanya mengandalkan laporan administratif. Padahal, sesuai prinsip Good Governance, setiap tahap pembangunan wajib transparan, terukur, dan partisipatif.
Pengawasan bukanlah sekadar urusan teknis insinyur, tetapi tanggung jawab etis pemerintah daerah. Jika akuntabilitas publik lambat, maka tragedi serupa bisa berulang, hanya dengan nama tempat berbeda. Kita butuh sistem yang tidak hanya membangun, tapi juga menjamin keselamatan warganya.
4. Masyarakat yang Terlalu Cepat Melupakan
Ada satu kebiasaan buruk dalam siklus bencana di negeri ini: cepat simpati, cepat pula melupakan. Hari ini ramai diberitakan, esok dilupakan oleh arus berita baru. Padahal, setiap insiden seperti ini menuntut pembelajaran kolektif agar tidak terulang.
Jembatan Pangandaran harus dijadikan studi kasus untuk pembenahan tata kelola proyek publik, bukan sekadar bahan headline. Media berperan penting menjaga ingatan publik agar tidak pudar. Sebab dari ingatan yang hidup, lahir tekanan sosial yang mendorong perbaikan nyata.
Jika masyarakat memilih diam, maka pembangunan akan terus dikerjakan dengan pola yang sama: tergesa, tak terawasi, dan tanpa tanggung jawab penuh. Kritis bukan berarti melawan pemerintah; kritis adalah wujud cinta agar negeri ini belajar dari setiap kesalahan.
5. Antara Tanggung Jawab dan Nurani
“Yang roboh bukan hanya jembatan, tapi juga nurani,” ujar seorang warga dalam liputan lapangan. Kalimat ini mengandung refleksi mendalam tentang krisis tanggung jawab yang melanda. Ketika infrastruktur dibangun tanpa cinta, hasilnya hanya beton tanpa jiwa.
Setiap rupiah dana publik mengandung amanah.
Pekerja, kontraktor, dan pejabat pelaksana wajib memandangnya sebagai bagian dari ibadah sosial, bukan sekadar proyek ekonomi. Pengawasan yang lemah adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat.
Kini, yang dibutuhkan bukan hanya perbaikan fisik jembatan, melainkan pemulihan etika pembangunan nasional—yang berorientasi pada keselamatan manusia, bukan pencapaian angka. Membangun negeri bukan soal cepat, tapi soal selamat.
Menegakkan Amanah di Atas Sungai Kepercayaan
Kejadian di Pangandaran seharusnya menggugah semua pihak bahwa pembangunan tanpa pengawasan adalah bencana yang menunggu waktu. Dari anak-anak yang jatuh itu, kita belajar bahwa setiap baut yang longgar menyimpan risiko kehilangan masa depan.
Sebagaimana diingatkan oleh Ki Hadjar Dewantara, “Kepemimpinan sejati adalah pengabdian, bukan kekuasaan.” Maka, siapa pun yang diberi mandat membangun fasilitas publik wajib menegakkan amanah dengan penuh tanggung jawab dan nurani. Jika tidak, setiap jembatan hanya akan menjadi simbol penghubung yang gagal menghubungkan rasa percaya rakyat. Wallahu a'lam.
Disclaimer
Tulisan ini bertujuan untuk refleksi publik dan edukasi etika pembangunan. Tidak bermaksud menuduh pihak tertentu, tetapi mendorong transparansi dan tanggung jawab dalam setiap proyek infrastruktur publik.
Daftar Pustaka
- Kusnadi, Agus & Nurfajriani, Rahmi. “Baru Sebulan Dibangun, Jembatan Gantung di Pangandaran Roboh, 8 Anak Jadi Korban.” Pikiran-Rakyat.com, 4 Oktober 2025. https://www.pikiran-rakyat.com/news/pr-019694694
- Kompas.com. “Jembatan Ambruk di Padalarang, Warga Pasang Spanduk Protes.” Diakses 5 Oktober 2025. https://www.kompas.com/
- Detik.com. “Infrastruktur Gagal dan Minimnya Pengawasan Proyek Daerah.” Diakses 5 Oktober 2025. https://www.detik.com/
- Tempo.co. “Akuntabilitas dan Etika Pembangunan Publik di Indonesia.” Diakses 5 Oktober 2025. https://www.tempo.co/
- Kementerian PUPR. Pedoman Pengawasan Infrastruktur Desa 2024. Jakarta: PUPR Press, 2024.
Ringkasan (150 karakter):
Jembatan Pangandaran yang roboh sebulan setelah dibangun jadi simbol rapuhnya etika pembangunan dan tanggung jawab publik.
Kata kunci:
Jembatan Pangandaran, akuntabilitas publik, etika pembangunan, keselamatan anak, pengawasan infrastruktur, tanggung jawab moral.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI