Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Jembatan yang Tak Kuat Menanggung Amanah

5 Oktober 2025   09:27 Diperbarui: 5 Oktober 2025   09:27 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus ini mencerminkan perlunya audit sosial terhadap proyek infrastruktur daerah. Pemerintah tidak cukup meninjau dengan alat ukur teknis—perlu juga evaluasi moral dan sosial atas setiap pembangunan publik. Sebab jembatan tidak hanya menopang beban tubuh, tetapi juga beban kepercayaan masyarakat.

Para korban terjatuh dari jembatan gantung yang putus tengah dirawat di ruang UGD Puskesmas Cikembulan Kab Pangandaran, Sabtu, 4/10/2025. (Dok. PR)
Para korban terjatuh dari jembatan gantung yang putus tengah dirawat di ruang UGD Puskesmas Cikembulan Kab Pangandaran, Sabtu, 4/10/2025. (Dok. PR)

2. Anak Sekolah sebagai Korban Paling Sunyi

Siapa yang menyangka, perjalanan sederhana menuju sekolah bisa berakhir dengan trauma? Delapan pelajar SMP IT Daarul Hikmah menjadi saksi betapa rentannya keselamatan publik jika infrastruktur dibangun tanpa kejujuran. Mereka hanya ingin menyeberang untuk belajar, bukan untuk menjadi berita.

Tragedi ini bukan peristiwa tunggal, tetapi bagian dari pola kegagalan sistemik. Anak-anak sering menjadi korban diam dari kelalaian orang dewasa—baik dalam pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur. Luka fisik mereka mungkin sembuh, tetapi ketakutan saat jembatan bergoyang dan tubuh jatuh ke sungai akan tersimpan lama dalam ingatan.
Sudah seharusnya ada pendekatan psikososial bagi para korban muda. Sekolah, orang tua, dan pemerintah daerah mesti berkolaborasi untuk memulihkan kepercayaan mereka terhadap ruang publik. Sebab keselamatan adalah bagian tak terpisahkan dari pendidikan karakter dan rasa aman bernegara.

3. Infrastruktur Cepat, Akuntabilitas Lambat

Kita sering mendengar jargon “pembangunan cepat, pelayanan hebat”, tapi Pangandaran justru menunjukkan sebaliknya. Jembatan dibangun cepat—namun roboh lebih cepat lagi. Jika proyek yang belum genap sebulan berdiri bisa gagal, publik berhak bertanya: siapa yang mengawasi? siapa yang menandatangani laporan kelayakan?

Fenomena ini memperlihatkan lemahnya sistem monitoring dan evaluasi publik (monev). Banyak proyek infrastruktur daerah masih dikerjakan tanpa mekanisme kontrol ketat, hanya mengandalkan laporan administratif. Padahal, sesuai prinsip Good Governance, setiap tahap pembangunan wajib transparan, terukur, dan partisipatif.

Pengawasan bukanlah sekadar urusan teknis insinyur, tetapi tanggung jawab etis pemerintah daerah. Jika akuntabilitas publik lambat, maka tragedi serupa bisa berulang, hanya dengan nama tempat berbeda. Kita butuh sistem yang tidak hanya membangun, tapi juga menjamin keselamatan warganya.

4. Masyarakat yang Terlalu Cepat Melupakan

Ada satu kebiasaan buruk dalam siklus bencana di negeri ini: cepat simpati, cepat pula melupakan. Hari ini ramai diberitakan, esok dilupakan oleh arus berita baru. Padahal, setiap insiden seperti ini menuntut pembelajaran kolektif agar tidak terulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun