Perempuan Karya Mochtar Lubis: Luka Lama, Suara yang Tak Padam
“Kita sangka sudah tiba pada dasarnya, tetapi masih lebih dalam lagi.” — Mochtar Lubis, La Bandida
Oleh Karnita
Pendahuluan
Kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis adalah peta batin manusia: lugu, getir, lucu, namun menyimpan bara kritik sosial yang tak lekang waktu. Diterbitkan pertama kali pada 1956 dan dicetak ulang oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia (cetakan keempat, Agustus 2019), buku setebal 198 halaman ini memuat 19 cerita yang menyingkap lapisan terdalam tabiat manusia. Sebagai wartawan perang yang menyaksikan pergolakan Perang Korea dan transisi politik Indonesia, Lubis menghadirkan dunia yang tampak sederhana, tetapi sejatinya berkelindan antara nurani, kepentingan, dan kebodohan sosial.
Ketertarikan Lubis pada perilaku manusia tampak dari cara ia menulis: tajam, lugas, namun tetap hangat. Ia tidak menasihati, melainkan mengajak pembaca bercermin. Dengan kejujuran seorang saksi sejarah dan kelembutan seorang sahabat, ia menertawakan hidup tanpa menggurui. Tak heran, Perempuan tetap hidup dan relevan di tengah masyarakat masa kini yang masih dilingkari fanatisme, ketamakan, dan absurditas moral.
Daya hidup buku ini terletak pada kemampuannya menembus zaman. Meski lahir dari konteks sosial-politik 1950-an, cerpen-cerpen Lubis berbicara lantang pada masa kini. Ia mengingatkan bahwa kebingungan, kepalsuan, dan kekacauan bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan warisan yang terus menantang kesadaran manusia modern.
Sinopsis
Dalam Perempuan, Mochtar Lubis menampilkan potret manusia dari beragam sudut dunia—Tokyo, Singapura, New York, hingga kampung-kampung di Indonesia—dengan tema besar: kegelisahan moral manusia di tengah perubahan zaman. Cerpen “Perempuan” yang menjadi judul buku, mengisahkan pergulatan batin seorang perempuan yang tersesat di antara cinta dan perang, sementara “Angin Musim Gugur” menyingkap absurditas manusia yang terseret dalam arus ideologi dan konflik politik.
“Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri” menjadi kisah yang menggigit, memperlihatkan bagaimana niat tulus bisa terdistorsi oleh kekuasaan dan kepatuhan buta. Sedangkan “Sepotong Rokok Kretek” menampilkan kemiskinan struktural yang membuat manusia kehilangan martabatnya, namun tetap menemukan kehangatan kecil dalam ritual sederhana. Cerita-cerita lain seperti “Kebun Pohon Kastanye” dan “Lotre Haji Zakaria” memantulkan wajah manusia yang dikuasai harta, keserakahan, dan nasib.