Apakah Kementerian Haji dan Umrah Jawaban Final?
“Institusi boleh berganti nama, tapi kualitas pelayanan tetap menjadi ujian utama.”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Apakah suara palu di Senayan itu cukup kuat untuk menghapus keluhan panjang jamaah soal antrean, dana, dan layanan haji yang sering timpang? Selasa, 26 Agustus 2025, ruang paripurna DPR RI menjadi saksi perubahan hukum yang mengubah wajah penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Republika menulis dengan judul “Sah! BP Haji Resmi Jadi Kementerian Haji dan Umrah”, menandai titik balik perjalanan institusi haji Indonesia.
Keputusan itu hadir di tengah urgensi perbaikan layanan ibadah haji dan umrah yang selama ini menuai kritik publik. Jumlah jamaah haji Indonesia yang terus meningkat menuntut sistem pengelolaan lebih profesional, terintegrasi, dan transparan. Publik berharap, transformasi kelembagaan ini bukan sekadar perubahan nama, melainkan juga peningkatan kualitas layanan.
Penulis tertarik membahas isu ini karena menyentuh kepentingan umat Islam terbesar di dunia. Di saat yang sama, keputusan ini relevan untuk melihat bagaimana negara mengelola aspek keagamaan sekaligus diplomasi internasional. Lalu, apakah kehadiran Kementerian Haji dan Umrah benar-benar akan menjawab kerinduan panjang jamaah akan pelayanan yang lebih manusiawi?
1. Transformasi Kelembagaan: Antara Harapan dan Beban
Transformasi BP Haji menjadi kementerian adalah jawaban atas dorongan lama DPR dan pemerintah. Harapan yang menyertainya begitu tinggi, mulai dari manajemen kuota, layanan akomodasi, hingga pengelolaan dana haji. Namun, di balik itu tersimpan beban besar: ekspektasi jamaah yang setiap tahun kian bertambah.
Keberadaan kementerian khusus diharapkan mampu menegaskan arah kebijakan yang lebih fokus pada kepentingan jamaah. Bukan sekadar administratif, tetapi juga menyangkut dimensi spiritual, sosial, dan diplomasi internasional. Kementerian ini harus menjadi jembatan yang kuat antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi.