Bola Mati di Jasinga: Saat Sportivitas Hilang
“Sepak bola seharusnya menyatukan, bukan memisahkan.”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Lapangan sepak bola di Kecamatan Jasinga, Bogor, pada Minggu (17/8/2025) menjadi saksi duka. Kompas.com menurunkan laporan berjudul “Final Sepak Bola Berujung Maut, Begini Detik-detik Bentrokan di Jasinga Bogor” pada 18 Agustus 2025. Ironis, perayaan yang mestinya meriah justru berakhir dengan kehilangan nyawa seorang warga.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kebersamaan, peristiwa ini tentu menimbulkan keprihatinan mendalam. Sepak bola, yang seharusnya mempererat persaudaraan, malah sering kali menjadi pemicu keributan antarwarga. Urgensi untuk membenahi pola penyelenggaraan olahraga masyarakat semakin nyata di tengah rawannya gesekan sosial.
Penulis merasa tertarik membahas isu ini karena relevansinya yang kuat dengan situasi bangsa. Fenomena ini tidak hanya soal sepak bola, melainkan cerminan persoalan sosial, budaya, dan komunikasi antarwarga. Lebih jauh, tragedi ini mengingatkan bahwa sportivitas bukan sekadar slogan, melainkan kebutuhan mendasar bagi hidup bersama.
1. Sepak Bola Rakyat dan Luka Sosial
Sepak bola tingkat kampung sering menjadi ruang ekspresi masyarakat akar rumput. Turnamen RW atau desa biasanya digelar untuk memperkuat silaturahmi dan menyalakan semangat persatuan. Namun, di Jasinga, sportivitas runtuh ketika rivalitas berubah menjadi kebencian yang memicu bentrokan.
Kronologi yang diberitakan menunjukkan pertandingan sempat dihentikan, tetapi digelar kembali tanpa koordinasi aparat. Hal ini membuka celah konflik karena melibatkan kelompok yang sejak awal tidak dilibatkan. Ketiadaan pengawasan justru menambah api ketegangan yang sudah membara di antara suporter.