"Kepercayaan adalah fondasi, akuntabilitas adalah tiangnya."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Jakarta kembali menjadi sorotan setelah pada Sabtu, 16 Agustus 2025, Kompas.com menurunkan berita berjudul “Pemerintah Akan Bangun Gedung 40 Lantai, Kelola Dana Umat Rp 500 T per Tahun”. Dalam laporan itu disebutkan Menteri Agama Nasaruddin Umar bersama Presiden Prabowo Subianto merencanakan gedung ikonik di Bundaran HI sebagai pusat pengelolaan dana umat. Rencana ini sontak menuai apresiasi, sekaligus memunculkan beragam pertanyaan publik.
Apresiasi patut diberikan karena pemerintah berupaya menghadirkan tata kelola dana umat yang terpusat, representatif, dan profesional. Namun, kehati-hatian juga mutlak diperlukan agar proyek tidak menjadi “bancakan korupsi” atau bahkan mangkrak. Dalam sejarah pembangunan Indonesia, terlalu banyak proyek megah yang akhirnya kehilangan manfaat karena kurangnya perencanaan dan transparansi.
Urgensi pembangunan ini terletak pada pengelolaan potensi dana umat yang diperkirakan mencapai Rp 500 triliun per tahun. Dengan perencanaan matang, studi kelayakan yang komprehensif, serta menggandeng pihak kompeten, gedung ini bisa menjadi simbol pemberdayaan umat. Penulis tertarik mengulas isu ini karena relevansinya dengan masa depan tata kelola dana umat yang akuntabel, berkelanjutan, dan bebas dari kepentingan sempit.
Potensi Besar, Risiko Tidak Kecil
Potensi dana umat Rp 500 triliun per tahun jelas sangat strategis bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan dana sebesar itu, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan infrastruktur sosial bisa ditopang dengan lebih kuat. Namun, potensi besar selalu diikuti risiko yang tidak kecil, terutama bila tata kelola lemah.
Kritik publik kerap diarahkan pada minimnya literasi wakaf dan lemahnya profesionalisme nazir dalam mengelola aset umat. Hal ini membuat banyak tanah wakaf tak produktif dan dana zakat tidak optimal. Refleksi dari kondisi ini adalah bahwa gedung setinggi apa pun tidak akan bermakna bila manajemen tetap rentan.