Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Merunduk, Mengangkat Martabat", Saat Maaf Menjadi Pemimpin

9 Agustus 2025   21:02 Diperbarui: 9 Agustus 2025   21:02 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dirut KAI membungkuk meminta maaf imbas kereta anjlok. /doc. KAI

"Merunduk, Mengangkat Martabat", Saat Maaf Menjadi Pemimpin
"Kerendahan hati tak merendahkan derajat, justru meninggikannya di mata mereka yang dilayani."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Minggu, 3 Agustus 2025, di ruang konferensi pers sederhana, Didiek Hartantyo, Dirut PT KAI, menunduk dalam-dalam. Gestur itu menjadi wujud tanggung jawab atas anjloknya Kereta Argo Bromo Anggrek di Subang, 1 Agustus 2025.  Momen langka seperti ini jarang terlihat di panggung transportasi Indonesia, apalagi di tengah maraknya keluhan layanan publik yang jarang direspons langsung oleh pucuk pimpinan.

Insiden itu membatalkan 80 perjalanan, mengalihkan 42 rute, dan memaksa ribuan penumpang mengubah rencana. Namun, sikap membungkuk Didiek justru menarik hormat sekaligus rasa penasaran publik. Di tengah birokrasi yang kaku, gestur ini memberi pesan: kepemimpinan sejati berani merendah di hadapan kesalahan.

Kisah ini menjadi pelajaran bagi budaya korporasi dan kepemimpinan nasional. Masyarakat butuh teladan nyata dalam krisis. Membungkuk ala Jepang ini bukan sekadar sopan santun, tapi cermin keberanian memulihkan kepercayaan publik.

1. Gestur yang Berbicara Lebih Keras dari Kata-Kata

Gestur membungkuk dalam budaya Jepang melambangkan penghormatan, penyesalan, dan tekad memperbaiki keadaan. Dalam insiden KAI, Didiek memilih menyampaikan maaf bukan hanya lewat kata-kata, tetapi lewat bahasa tubuh yang kuat. Publik melihatnya bukan sekadar sebagai direktur yang berpidato, melainkan pemimpin yang menundukkan ego di hadapan rakyat.

Di Indonesia, gestur seperti ini jarang ditemui, terutama di sektor transportasi yang akrab dengan isu keterlambatan dan kecelakaan. Umumnya, permintaan maaf hadir lewat rilis resmi yang kaku. Perbedaan ini membuat langkah Didiek menonjol sekaligus memantik diskusi tentang pentingnya empati visual dalam komunikasi krisis.

Namun, gestur tak cukup bila tanpa langkah nyata membenahi akar masalah. Jika tidak, publik akan menganggapnya sekadar sopan santun tanpa makna. Ketulusan baru terasa saat simbol diiringi aksi konkret—perpaduan yang menjadi modal penting dalam memulihkan kepercayaan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun