Menyatukan Laut, Merawat Damai, Diplomasi Ambalat Indonesia--Malaysia
"Laut memisahkan daratan, namun menyatukan manusia yang mau berdamai."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Riak ombak Laut Ambalat kembali membawa kabar sengketa. Pada 9 Agustus 2025, Kompas.com memberitakan "Malaysia Ngotot Sebut Ambalat 'Laut Sulawesi', Prabowo Pilih Opsi Damai" yang mengungkap perbedaan istilah maritim kedua negara. Di balik perbedaan nama, tersimpan sejarah, peta, putusan internasional, dan kepentingan energi yang sensitif.
Isu ini penting karena menguji kematangan diplomasi Indonesia--Malaysia. Dalam era globalisasi dan ketergantungan ekonomi, batas laut bukan sekadar garis di peta, tetapi juga simbol kedaulatan dan kunci keamanan regional. Di tengah krisis energi dan perubahan iklim, lautan menjadi arena strategis sekaligus sumber harapan.
Presiden Prabowo Subianto memilih jalur damai melalui skema joint development, membangun kerja sama sambil menyelesaikan perbedaan hukum. Jika konsisten dijalankan, langkah ini berpotensi menjadi model penyelesaian sengketa maritim yang beradab dan saling menguntungkan di Asia Tenggara.
1. Sengketa Nama: Simbol, Sejarah, dan Politik
Bagi sebagian pihak, perbedaan penyebutan antara "Laut Ambalat" dan "Laut Sulawesi" mungkin terdengar seperti masalah semantik. Namun dalam diplomasi internasional, terminologi adalah senjata halus untuk memperkuat posisi klaim. Malaysia memegang teguh nama "Laut Sulawesi" sesuai peta 1979 dan interpretasi mereka atas putusan ICJ tahun 2002 yang memenangkan Pulau Sipadan dan Ligitan. Indonesia, sebaliknya, konsisten memakai istilah "Laut Ambalat" sesuai peta dan perjanjian batas 1969.
Penyebutan nama dalam dokumen resmi bukan sekadar pilihan kata. Ia menjadi simbol pengakuan atau penolakan terhadap klaim kedaulatan. Setiap kali Malaysia menolak menyebut "Ambalat", mereka sedang mengirim sinyal politik bahwa wilayah itu adalah bagian dari kepentingan mereka. Indonesia pun demikian: mempertahankan istilah "Ambalat" adalah bentuk menjaga martabat dan kedaulatan.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa diplomasi tidak selalu bergulat pada meja perundingan atau medan tempur. Ia juga berlangsung di ranah bahasa, peta, dan narasi publik. Perdebatan nama bisa menguatkan semangat nasionalisme, tapi juga berpotensi memanaskan situasi bila tidak dikelola dengan bijak.