Namun, model ini menuntut manajemen yang cermat dan berintegritas tinggi. Pelaporan triwulan dan penggunaan media sosial untuk transparansi adalah langkah positif. Akuntabilitas menjadi pondasi utama dalam menjaga kepercayaan publik.
Refleksinya: zakat bukan lagi sekadar instrumen kedermawanan, tapi juga alat pembangunan sosial. Dengan masjid sebagai simpul, zakat dapat menjadi instrumen pengurang kemiskinan struktural secara berkelanjutan.
2. Peran Takmir: Dari Administratif ke Kepemimpinan Sosial
Prof Abu Rokhmad menekankan pentingnya kepekaan sosial takmir masjid. Ia menyebut hal sederhana seperti kondisi tempat wudu hingga masalah pendidikan anak jamaah. Ini menandai perubahan paradigma peran takmir dari administratif ke pemimpin sosial.
Takmir masjid kini dituntut adaptif, komunikatif, dan empatik. Mereka bukan sekadar pengurus acara, melainkan penggerak solusi. Takmir yang mampu membaca denyut kebutuhan jamaah akan membuat masjid lebih hidup.
Kepemimpinan takmir tidak cukup berbasis senioritas atau ketokohan semata. Diperlukan kompetensi manajerial, digital, dan sensivitas terhadap isu-isu lokal. Pelatihan dari Kemenag menjadi langkah awal yang strategis.
Pesannya jelas: takmir harus bergerak dari rutinitas menuju inovasi. Jika takmir tanggap, masjid akan lebih dari sekadar tempat ibadah---ia menjadi rumah solusi dan ruang pembinaan umat yang aktif dan inklusif.
3. Masjid sebagai Pusat Ekonomi dan Edukasi Umat
Masjid Raya Al-Azhom di Tangerang diharapkan menjadi pelopor pemberdayaan umat. Wali Kota Sachrudin menyampaikan bahwa masjid harus menjadi pusat ekonomi, edukasi, dan solusi sosial. Ini bukan ambisi kosong, melainkan panggilan sejarah.
Ekonomi umat tak bisa hanya bergantung pada program pemerintah. Masjid yang memiliki jaringan jamaah luas dapat menjadi simpul penguatan ekonomi lokal. Skema zakat produktif, pelatihan wirausaha, dan koperasi jamaah bisa berjalan dari masjid.