Di Balik Lelucon, Ada Teriakan: Nasionalisme Rakyat Tak Perlu Didikte
“Pemerintah yang harus belajar nasionalisme dari rakyat.” – Gugun El Guyanie
Oleh Karnita
Pendahuluan
Angin sore menyapu pelataran rumah pada 18 Juli 2025. Di salah satu tiangnya, bukan Merah Putih yang berkibar, melainkan bendera bajak laut One Piece. Fenomena ini dilaporkan dengan cermat oleh Wulan Intandari di Republika, berjudul Pakar Hukum Tata Negara Soal Fenomena Berkibarnya Bendera One Piece: Bukan Sekadar Lelucon.
Tulisan ini layak diapresiasi karena menggugah pemikiran tanpa menghakimi. Wulan menyajikan sorotan hukum dan sosiologis dalam satu bingkai yang jernih dan reflektif. Saya tertarik karena kasus ini bukan sekadar budaya pop, melainkan cermin dari sebuah relasi kuasa yang mulai retak.
Fenomena ini menjadi relevan karena terjadi menjelang Hari Kemerdekaan RI ke-80. Ketika masyarakat merasa kehilangan ruang menyuarakan diri, simbol fiksi bisa menjadi sarana artikulasi perlawanan. Maka, mengabaikannya sebagai “main-main” justru berbahaya.
1. Bendera Bajak Laut: Simbol atau Sindiran?
Simbol bukan sekadar gambar, tapi bahasa diam dari suara yang tak terdengar. Dalam konteks One Piece, bendera tengkorak bertopi jerami bukan sekadar referensi anime. Ia adalah metafora tentang kebebasan, perlawanan, dan persahabatan.
Saat bendera ini dikibarkan menjelang 17 Agustus, pesannya tidak bisa lagi dimaknai secara dangkal. Ia menjadi sindiran terhadap lemahnya kepekaan negara terhadap suara rakyat. Dan ketika suara itu dilukiskan lewat budaya pop, justru di situlah bentuk nasionalisme baru sedang tumbuh.
Masyarakat muda tidak hanya menonton One Piece. Mereka meresapi narasi keadilan dan solidaritas dalam anime itu sebagai refleksi realitas sosial. Maka, mereka mengibarkan simbol itu bukan untuk melawan negara, tetapi untuk mengingatkan negara bahwa nasionalisme bukan milik elite semata.