Bukan Sekadar Pola, Tapi Teladan: Gaya Hidup Rasulullah yang Mengungguli Zaman
"Tiada tempat yang manusia isi yang lebih buruk ketimbang perut." – HR Ahmad
Oleh Karnita
Pendahuluan: Menelusuri Jejak Sehat Sang Nabi
Senin, 28 Juli 2025, Republika.co.id menerbitkan artikel bertajuk “Hanya 2 Kali Sakit di Sepanjang Hidupnya, Ini Gaya Hidup Sehat Rasulullah”. Judul ini mencuri perhatian saya karena mengungkapkan fakta luar biasa tentang Nabi Muhammad SAW yang hanya dua kali mengalami sakit sepanjang hidupnya: ketika diracuni dan menjelang wafat. Di tengah zaman dengan prevalensi penyakit metabolik dan gaya hidup yang buruk, tulisan ini memicu rasa ingin tahu tentang bagaimana pola hidup Nabi dapat dijadikan pedoman bagi umat modern.
Saya tertarik membedah artikel ini karena ia menyentuh akar persoalan besar dunia kontemporer: krisis kesehatan yang kerap dipicu gaya hidup tidak seimbang. Dari pola makan berlebihan, tidur tak teratur, hingga kurangnya aktivitas fisik, semua menjadi penyakit modern yang sejatinya bisa diatasi dengan meneladani sunnah Rasulullah. Artikel ini penting bukan semata karena bernuansa religi, melainkan karena menyimpan solusi preventif yang logis dan rasional untuk kehidupan masa kini.
Relevansi tulisan ini kian nyata dalam konteks Indonesia yang tengah dibayangi prevalensi penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas. Kampanye “back to sunnah” dalam konteks kesehatan bukanlah nostalgia spiritual semata, melainkan juga agenda edukasi publik yang berakar pada ilmu dan adab. Melalui ulasan ini, mari kita gali lebih dalam nilai-nilai hidup Rasulullah yang layak menjadi blueprint gaya hidup sehat umat Islam.
1. Makan Bukan untuk Kenyang, Tapi untuk Sehat
Nabi Muhammad SAW dikenal tidak pernah makan secara berlebihan. Prinsip makan yang diajarkan beliau adalah keseimbangan: sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air, dan sepertiga untuk udara. Dalam konteks medis masa kini, prinsip ini selaras dengan konsep mindful eating dan pengendalian kalori. Pola ini juga sangat sesuai bagi mereka yang berjuang menjaga kadar gula darah, berat badan, dan metabolisme sehat.
Lebih lanjut, makanan yang dipilih Rasul SAW tidak hanya halal, tetapi juga thayyib (baik dan bermanfaat). Beliau menghindari makanan yang berpotensi membahayakan tubuh atau mengganggu akal. Tafsir Ibnu Katsir menekankan bahwa “halalan thayyiban” mencakup kualitas makanan secara fisik dan etis. Ini penting bagi kita yang hidup di tengah banjirnya produk instan dan junk food yang menggoda.
Kritik yang bisa diajukan adalah bagaimana umat Islam sering kali terjebak dalam simbolisme makanan sunnah—seperti mengonsumsi kurma atau madu—tanpa menginternalisasi prinsip kesederhanaan dan pengendalian diri dalam konsumsi harian. Nabi SAW tidak hanya mengajarkan apa yang dimakan, tetapi juga bagaimana dan kapan sebaiknya kita makan.