Dari Kamojang ke Dunia: Kopi Lokal Naik Kelas Lewat Energi Geotermal
"Inovasi bukan hanya soal teknologi, tapi soal keberanian untuk mengubah hidup dari akar rumput."
Oleh Karnita
Pendahuluan: Saat Uap Menyentuh Biji Kopi dan Asa Petani
Uap panas tipis masih mengepul dari lereng Kamojang saat sekelompok petani dan para pejabat berkumpul di Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, pada Jumat pagi, 18 Juli 2025. Di tengah udara sejuk khas pegunungan, mereka merayakan momen bersejarah: Panen Bersama dan Ekspor Perdana Kopi Geotermal Kamojang. Berita ini dimuat dalam Republika.co.id dan Kompas.com, memperlihatkan bagaimana sinergi antara PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) dan petani lokal melahirkan jejak baru kopi Indonesia di pasar global. Tidak hanya karena cita rasa khas arabika Kamojang, tetapi karena cara pengolahannya: dengan energi bersih dari perut bumi.
Penulis tertarik membahasnya bukan hanya karena pencapaian ekspor 15 ton kopi ke Asia dan Eropa, tetapi karena inovasi yang menyertainya. Di tengah perbincangan nasional soal transisi energi, green economy, dan pemberdayaan UMKM, kisah ini menjadi contoh nyata kolaborasi antara teknologi, kearifan lokal, dan keberlanjutan. Terlebih, narasi seperti ini masih langka muncul dari desa-desa penghasil komoditas.
Relevansinya sangat kuat dengan kebutuhan saat ini: ekonomi yang inklusif, teknologi yang membumi, serta energi yang membebaskan, bukan mencengkeram. Inovasi yang tidak meninggalkan masyarakat lokal, tapi justru tumbuh bersama mereka. Inilah alasan mengapa kisah kopi Kamojang patut dituliskan bukan hanya sebagai berita, tapi juga sebagai refleksi kebijakan.
Geothermal Dry House: Inovasi yang Mengakar di Tanah Petani
Teknologi Geothermal Dry House yang dikembangkan PGE bersama petani sejak 2018 bukanlah sekadar mesin pengering. Ia adalah sistem pengolahan kopi yang menggunakan uap buangan dari steam trap panas bumi untuk mempercepat proses pengeringan biji. Tanpa membakar kayu atau bergantung pada sinar matahari, pengeringan bisa berlangsung tiga kali lebih cepat, lebih efisien, dan tentu lebih ramah lingkungan.
Penting dicatat bahwa teknologi ini tidak berdiri sendiri. Ia lahir dari kebutuhan lokal dan partisipasi petani yang mengalami langsung kesulitan saat musim hujan atau keterbatasan bahan bakar pengering. Dengan kata lain, teknologi ini bukan solusi dari atas ke bawah, melainkan hasil dialog antara korporasi dan komunitas. Karena itu pula, inovasi ini berhasil dipatenkan dan menjadi yang pertama di dunia.