Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"My GirlBoss": Panggilan Sayang yang Menguatkan Perempuan Mandiri

9 Juli 2025   21:12 Diperbarui: 9 Juli 2025   21:12 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi media sosial(Freepik)

“My Girl Boss”: Panggilan Sayang yang Menguatkan Perempuan Mandiri

“Bahasa bisa jadi pelukan, bisa juga jadi panggung perjuangan. Tinggal bagaimana kita mengucapkannya.”

Oleh Karnita

Pendahuluan: Di Balik Viral, Ada Visi Sosial

Istilah “My Girl Boss” mendadak ramai berseliweran di TikTok dan Instagram, menjadi semacam tren ekspresif yang mewakili relasi dan kekaguman seseorang terhadap perempuan mandiri dan ambisius. Artikel Kompas.com berjudul “Arti Istilah ‘My Girl Boss’ yang Lagi Ramai di Medsos” (Zulfikar Hardiansyah, 9 Juli 2025) menyajikan penjelasan terminologisnya secara utuh. Istilah ini muncul setelah seorang influencer menerima bunga bertuliskan "my girl boss", dan sejak itu, panggilan ini menjadi viral sebagai bentuk dukungan yang akrab sekaligus simbolik.

Fenomena ini menarik karena menyentuh dua sisi yang jarang bersanding: antara bentuk ekspresi cinta yang lembut dengan penghargaan terhadap kemandirian perempuan. Dalam masyarakat yang tengah berjuang mendefinisikan ulang peran dan suara perempuan, viralnya istilah ini membawa implikasi kultural yang tidak bisa disepelekan. Ia menjadi cermin bagaimana publik mulai menyambut representasi perempuan kuat tanpa kehilangan kelembutan.

Saya tertarik membedah fenomena ini bukan semata karena sisi viralnya, melainkan karena istilah ini adalah pintu masuk untuk memahami gelombang baru dalam narasi kesetaraan gender di ranah digital. Ketika bahasa gaul menjadi alat afirmasi sosial, maka penting bagi kita menelaah pesan apa yang sedang dibentuk, disampaikan, dan diwariskan oleh generasi hari ini.

1. "My Girl Boss": Romantisasi atau Reaktualisasi Peran Perempuan?

Di satu sisi, istilah “my girl boss” terlihat sebagai panggilan sayang yang lucu dan kekinian. Namun jika dilihat lebih dalam, frasa ini mengandung semangat afirmatif terhadap perempuan yang berdaya. Kata “boss” bukan lagi semata gelar jabatan, tetapi metafora untuk kemandirian, kepemimpinan, dan tekad seorang perempuan untuk mengatur jalan hidupnya sendiri.

Namun kita juga harus berhati-hati: apakah ini bentuk romantisasi semata? Atau sebuah refleksi yang tulus terhadap realita sosial yang makin inklusif terhadap perempuan? Seringkali istilah yang viral kehilangan esensinya karena dipakai tanpa kesadaran makna. Di sinilah perlunya edukasi linguistik populer agar bahasa tetap menjadi alat pembebasan, bukan komoditas belaka.

Solusi yang dapat diajukan adalah menggandeng para influencer atau edukator digital untuk menyisipkan makna dalam tiap tren. “My girl boss” seharusnya tidak hanya berhenti sebagai panggilan manja, tapi jembatan menuju penguatan peran perempuan dalam ranah kerja, rumah, dan masyarakat luas.

2. Bahasa Gaul Sebagai Cermin Aspirasi Generasi Z

Generasi Z dikenal dengan kreativitas dalam memodifikasi bahasa menjadi medium identitas. Kata-kata seperti “my girl boss”, “aura farming”, atau “exsaid” menunjukkan bagaimana bahasa menjadi alat ekspresi diri sekaligus pernyataan sikap terhadap dunia yang cepat berubah.

Namun, pemaknaan yang kuat tetap dibutuhkan agar istilah-istilah ini tidak kehilangan konteks. Tanpa pemahaman yang mendalam, istilah semacam itu bisa terjebak dalam reproduksi dangkal, bahkan bias gender yang justru tidak kita sadari. Ketika kita mengatakan “my girl boss”, apakah kita sungguh menghargai kemandirian perempuan, atau sekadar ikut-ikutan tren?

Solusi ke depan adalah memperluas literasi media dan bahasa digital yang kontekstual. Peran keluarga, sekolah, dan media arus utama penting dalam membangun kesadaran kritis anak muda terhadap bahasa yang mereka konsumsi dan produksi. Bahasa gaul bukan musuh, tapi perlu diiringi pemahaman dan penguatan nilai-nilai yang membentuk identitas sosialnya.

3. Ketika Kepemimpinan Perempuan Dirayakan dalam Gaya Pop

Perempuan dalam posisi kepemimpinan selama ini sering mengalami tantangan berlapis: bias gender, ekspektasi berlebih, hingga penghakiman sosial. Maka ketika istilah “girl boss” muncul sebagai representasi positif, ini adalah kemenangan kecil namun berarti. Ia membalikkan stigma, menghadirkan wacana bahwa tegas tidak harus maskulin, dan pemimpin bisa tampil feminin.

Akan tetapi, kita perlu menyadari bahwa realitas perempuan pekerja di lapangan masih jauh dari glamornya istilah viral. Banyak perempuan yang memimpin usaha rumahan, komunitas, bahkan rumah tangga dengan kerja tak terlihat yang berat. Mereka juga adalah “girl boss” sejati, meski tak tampil di TikTok atau Instagram.

Karena itu, mari perluas penghargaan terhadap perempuan pemimpin dari semua latar. Pemerintah daerah, komunitas bisnis, dan media bisa memberikan ruang apresiasi bagi perempuan yang memimpin dari balik layar, termasuk ibu rumah tangga, pengrajin, dan guru-guru desa. Kita sedang bicara soal demokratisasi makna kepemimpinan.

4. Makna Kepemilikan: Romantisme atau Relasi Setara?

Penambahan kata “my” dalam istilah ini menandakan afeksi personal, namun juga membuka ruang tafsir kritis tentang makna kepemilikan dalam relasi modern. Apakah ini menunjukkan relasi setara yang saling mendukung? Ataukah justru bentuk pengontrolan halus yang dibungkus romantisme?

Kita perlu mendorong pemahaman bahwa dalam hubungan yang sehat, istilah “my girl boss” adalah bentuk dukungan, bukan dominasi. Ia adalah pengakuan atas capaian dan otonomi pasangan, bukan klaim atasnya. Bahasa memiliki kuasa membentuk pola pikir dan sikap. Maka, penting bagi pengguna istilah ini menyadari konsekuensi simbolik dari ucapannya.

Solusi konkret yang bisa ditawarkan adalah edukasi relasi sehat berbasis empati dan kesetaraan, baik di lingkungan sekolah maupun komunitas digital. Kampanye seperti #SupportYourGirlBoss bisa menjadi ajakan untuk menunjukkan cinta dengan cara yang menghargai otonomi pasangan.

5. Perempuan, Media Sosial, dan Narasi Positif yang Perlu Dijaga

Media sosial telah menjadi panggung besar bagi perempuan untuk membentuk citra diri. Namun ruang ini juga penuh jebakan ekspektasi: harus selalu tampil sukses, cantik, dan kuat. Maka ketika istilah “my girl boss” viral, penting untuk menjaga agar maknanya tetap membumi dan inklusif.

Penting bagi kita semua—baik pengguna, pembuat konten, maupun media—untuk menjaga agar narasi tentang perempuan tidak terjebak dalam glorifikasi kosong. Kita butuh lebih banyak konten yang menggambarkan perjuangan nyata, emosi yang jujur, dan keberagaman bentuk kepemimpinan perempuan.

Kita juga harus terus mendorong literasi digital berbasis kesadaran gender. Sebab dari satu istilah, bisa lahir gelombang baru narasi sosial yang lebih adil, suportif, dan memberdayakan.

Penutup: Dari Tren ke Transformasi Sosial

Viralnya istilah “my girl boss” bukan sekadar tren manja yang lucu-lucuan. Ia bisa menjadi simbol afirmasi baru, pembuka dialog soal kepemimpinan, cinta yang setara, dan ruang sosial yang lebih ramah bagi perempuan. Kita tidak harus menolak tren, tapi kita bisa mengarahkan maknanya ke jalur yang lebih bernas dan bermakna.

Dalam dunia yang dibanjiri informasi, istilah populer seperti ini dapat menjadi jembatan menuju transformasi sosial yang lebih inklusif. Ia mengajarkan bahwa setiap kata yang kita gunakan memiliki dampak, dan setiap panggilan manja pun bisa menjadi dukungan moral yang menguatkan.

“Perempuan yang didukung tidak hanya melangkah lebih jauh, tapi juga membuka jalan bagi yang lain.” — Fatmawati Yunus, aktivis pemberdayaan perempuan

Mari gunakan “my girl boss” sebagai bentuk apresiasi yang jujur, bukan glorifikasi palsu. Sebuah dukungan yang melahirkan ruang tumbuh bagi perempuan untuk terus bersinar, bukan dalam bayang-bayang, tetapi di panggung yang setara. Wallahu a'lam

Daftar Pustaka:

Hardiansyah, Zulfikar. 2025. Arti Istilah “My Girl Boss” yang Lagi Ramai di Medsos. Jakarta: Kompas.com.

Sari, Nurhadi. 2024. Girlboss: Feminisme yang Terjebak Kapitalisme? Yogyakarta: Harian Jogja.

Amalia, N. 2025. Bahasa Gaul dan Budaya Digital: Tantangan Literasi Generasi Z. Jakarta: Media Indonesia.

Nursita, Dini. 2025. Tren Digital dan Representasi Perempuan di Media Sosial. Jakarta: Republika.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun