Waktu Kita Tersendat, Bandung Harus Segera Berbenah
"Kemacetan bukan sekadar hambatan, tapi cermin tantangan yang bisa kita ubah bersama menjadi jalan perubahan."
Oleh Karnita
Pendahuluan: Ketika Kota Terhenti, Kita Perlu Bergerak Bersama
Pada Kamis sore, 19 Juni 2025, langit Bandung teduh. Tapi di ruas Jalan Otto Iskandar Dinata, suasana jauh dari tenang. Deru mesin yang tak kunjung melaju, raut penumpang yang resah, dan barisan kendaraan yang menjalar perlahan adalah pemandangan harian yang semakin lazim. Di balik keindahan kota kembang, waktu warga tersedot dalam kemacetan yang makin akut.
Data yang dirilis TomTom Traffic dan dikutip Pikiran Rakyat (3 Juli 2025) menyebut Bandung sebagai kota dengan tingkat kemacetan tertinggi di Indonesia. Rata-rata warga menghabiskan 108 jam per tahun di jalan—itu hampir tiga minggu kerja. Dengan waktu tempuh 10 km yang memakan 39 menit lebih, dan kecepatan rata-rata hanya 15,2 km per jam, Bandung kini bahkan masuk 12 besar kota paling macet di dunia.
Saya tertarik menanggapi isu ini bukan sekadar karena skalanya yang besar, tetapi karena ini menyentuh langsung kualitas hidup masyarakat urban. Artikel ini mencoba melengkapi laporan tersebut dengan sudut pandang strategis: bahwa kemacetan bukan akhir cerita, tetapi bisa menjadi titik tolak untuk membangun Bandung yang lebih adil, efisien, dan manusiawi.
1. Bandung Perlu Rencana Gerak yang Menyatukan Wilayah
Bandung kini tak bisa lagi dilihat hanya sebagai kota administratif. Ia telah menjadi wilayah metropolitan yang melibatkan pergerakan lintas batas—Cimahi, Bandung Barat, Sumedang, dan daerah penyangga lainnya. Namun, perencanaan transportasinya masih terfragmentasi. Pengamat budaya urban, Jejen Jaelani, menyebut pentingnya blueprint transportasi terintegrasi Bandung Raya.