Zakat, Amanah yang Retak: Ketika Suara Jujur Dibungkam, Kemaslahatan Terancam
"Keadilan bukan hanya tentang hukum yang ditegakkan, tapi tentang siapa yang dilindungi oleh hukum itu."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Langit Bandung akhir Mei tampak biasa saja. Namun di ruang rapat Kantor Baznas Jawa Barat, mendung menggantung lebih dari sekadar cuaca. Fawzi Muhtadi, lawyer dan kandidat Magister Hukum, dalam artikelnya di Kompas.com (18 Juni 2025) menuturkan bagaimana TY—seorang auditor internal yang melaporkan dugaan penyelewengan dana zakat dan hibah senilai lebih dari Rp 13 miliar—justru dijadikan tersangka. Alih-alih dilindungi sebagai pelapor, TY dijerat Pasal 32 UU ITE atas tuduhan membocorkan dokumen rahasia. Hukum tampak kabur, kepercayaan publik pun teriris.
Tulisan Muhtadi patut diapresiasi sebagai opini analitis reflektif yang jernih dan menggugah. Ia tak hanya menghadirkan kronik hukum, tetapi juga membedah struktur etis dan kelembagaan pengelolaan zakat dengan ketajaman seorang praktisi. Kedudukan artikel ini tak sekadar memberi informasi, melainkan menjadi pemantik diskusi kebijakan: tentang urgensi reformasi UU Zakat dan pentingnya perlindungan menyeluruh bagi whistleblower.
Ketertarikan saya  terhadap isu ini bukan karena besarnya angka, melainkan karena rapuhnya amanah. Zakat adalah instrumen keadilan sosial yang bersumber dari kepercayaan spiritual. Ketika pengelolaannya diliputi dugaan penyimpangan dan keberanian dilawan dengan kriminalisasi, maka pertanyaan besarnya bukan hanya tentang hukum—tetapi tentang keberpihakan moral kita sebagai bangsa.
1. Ketimpangan Struktural di Balik UU Zakat
Dalam artikelnya, Fawzi Muhtadi menggarisbawahi persoalan paling mendasar dalam tata kelola zakat di Indonesia: struktur yang bermasalah. UU No. 23 Tahun 2011 memberikan Baznas peran ganda sebagai regulator dan operator, menciptakan konflik kepentingan yang merusak prinsip tata kelola yang sehat. Posisi ini tidak hanya mengaburkan akuntabilitas, tapi juga menyumbat saluran pengawasan.
Yusuf Wibisono menambahkan bahwa struktur ini justru menyempitkan ruang LAZ (Lembaga Amil Zakat), yang seharusnya menjadi mitra sekaligus kontrol alternatif. Sayangnya, alih-alih memberdayakan jaringan lembaga zakat secara kolaboratif, UU justru menempatkan Baznas di menara kendali tunggal.