Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Berkurban Itu Niat, Bukan Nominal: Jangan Sampai Tahun Depan Terlewat!

8 Juni 2025   17:48 Diperbarui: 8 Juni 2025   17:48 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kurban adalah tentang keberanian melepas, bukan tentang kemampuan memiliki. (Foto: Mindra Purnomo/Infografis detikfinance) 

Berkurban Itu Soal Niat, Bukan Nominal: Jangan Sampai Tahun Depan Terlewat!

"Kurban adalah tentang keberanian melepas, bukan tentang kemampuan memiliki."

Oleh Karnita

Pendahuluan: Menyambut Panggilan Hati, Bukan Sekadar Tradisi

Setiap kali gema takbir mulai membelah langit di awal Zulhijah, ada getaran halus yang menyelinap ke dalam hati. Suara takbir itu bukan sekadar seruan syariat, tetapi panggilan spiritual untuk kembali merenung: sudahkah kita siap berkurban, bukan hanya secara harta, tapi juga rasa? Momen Iduladha seakan menjadi undangan tahunan bagi setiap Muslim untuk memaknai ulang arti pengorbanan, keikhlasan, dan kesediaan berbagi dalam bentuk yang paling konkret: hewan kurban.

Namun realitas di lapangan berbicara lain. Banyak dari kita --- termasuk saya, dulu --- pernah menganggap kurban itu urusan orang kaya. Bahwa yang bisa menyembelih kambing atau sapi hanyalah mereka yang sudah mapan, berlebih, dan bergaji besar. Sementara yang lain cukup berdoa dan menumpang nikmat daging dari panitia masjid. Sebuah anggapan yang pelan-pelan perlu kita koreksi, karena kurban bukan soal mampu, tapi soal mau --- dan soal bagaimana kita menyusun strategi untuk sampai ke sana.

Di tengah tekanan hidup dan godaan gaya hidup konsumtif, memang sulit membayangkan menabung jutaan rupiah hanya untuk membeli hewan yang "diserahkan begitu saja." Tapi justru di situlah letak pesonanya. Kurban bukan sekadar transaksi, tapi transformasi. Ia menuntut kita menunda kesenangan, melawan ego, dan menyisihkan sebagian kecil rezeki demi makna yang lebih besar. Karena itu, tulisan ini ingin menawarkan cara pandang yang lebih segar dan solutif: bahwa berkurban bisa direncanakan, dimampukan, dan dijalani --- oleh siapa saja.

1. Kurban Bukan Soal Dompet, Tapi Niat yang Jujur

Kalau kita jujur, banyak dari kita sebenarnya mampu --- hanya belum menyadari bahwa kemampuan itu perlu diarahkan. Badan Pusat Statistik (2023) mencatat bahwa hanya 12% umat Islam Indonesia yang berpartisipasi dalam kurban tiap tahunnya. Angka yang mengejutkan jika dibandingkan dengan potensi ekonomi umat. Tapi mungkin jawabannya bukan semata-mata soal gaji atau penghasilan, melainkan soal prioritas.

Sejarah para sahabat Nabi memberikan inspirasi yang luar biasa. Mereka yang secara materi tak semapan kita justru berlomba-lomba untuk berkurban. Ada yang menjual barang satu-satunya, ada pula yang patungan demi seekor kambing. Mereka tak menunggu kaya, tapi bergerak dengan niat. Niat itu yang membakar semangat, memampukan langkah, dan menjadikan kurban sebagai bentuk keikhlasan paling nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun