Tak Ada Yang Abadi, Bahkan di Antara Dua Raksasa
"Bahkan sekutu terbaik pun bisa berubah jadi musuh, bila ego mendahului akal sehat."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pada Jumat, 6 Juni 2025, Kompas dan berbagai media dunia memuat kabar mengejutkan: Elon Musk dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, berseteru hebat di ruang publik. Mereka saling melontarkan hinaan, ancaman, bahkan membuka aib satu sama lain di media sosial masing-masing—Musk di X, Trump di Truth Social. Isunya bermula dari RUU baru Trump, yang oleh Musk dianggap berbahaya karena berpotensi menambah utang negara. Tapi, semuanya dengan cepat membesar dan melebar.
Saya tertarik menuliskan refleksi ini bukan sekadar karena popularitas dua tokoh tersebut, tapi karena di balik drama itu, tersembunyi pesan yang lebih dalam: tentang kuasa, ambisi, dan rapuhnya aliansi di dunia politik dan bisnis. Di tengah peradaban digital dan ego raksasa, kita diingatkan kembali bahwa tak ada yang benar-benar abadi—bahkan hubungan dua orang terkaya dan terkuat sekalipun.
1. Dari Sahabat Jadi Lawan: Siapa Sangka?
"Kami dulu punya hubungan yang hebat," —Donald Trump
Dulu, Musk dan Trump seperti duet maut. Musk menyumbang $300 juta untuk kampanye Trump, lalu duduk manis di kursi kekuasaan sebagai Ketua Departemen Efisiensi Pemerintah (Doge). Bersama, mereka merampingkan birokrasi dan memangkas ribuan posisi PNS demi efisiensi anggaran. Tapi kini, keduanya saling tuding dan membuka aib.
Tak banyak yang menyangka bahwa sekutu seerat itu bisa berubah jadi musuh dalam semalam. Tapi begitulah dunia kekuasaan. Ketika prinsip, ambisi, dan ego tak lagi sejalan, bahkan hubungan yang terjalin lewat kunci emas Gedung Putih pun bisa lepas begitu saja.