Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Razia Berlalu, Preman Tetap Ada: Apa yang Salah?

18 Mei 2025   16:32 Diperbarui: 18 Mei 2025   16:32 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebanyak 299 orang yang diduga terlibat aksi premanisme di Jakarta Utara ditangkap polisi.(KOMPAS.com/ SHINTA DWI AYU)

Razia Berlalu, Preman Tetap Ada: Apa yang Salah?

"Saat hukum lemah, kejahatan beranak; saat kita diam, ketidakadilan menang."

Oleh Karnita

Premanisme: Mengapa Tumbuh Subur dan Sulit Diberantas?
"Ketika hukum lumpuh, kekuasaan jalanan yang mengambil alih."

Sudah lama saya memperhatikan satu pola yang kerap muncul di berbagai sudut kota maupun desa: kehadiran sosok "pengatur" informal yang muncul di balik parkiran, proyek, atau lahan kosong. Mereka tak selalu bersikap garang, tapi pengaruhnya sering kali melampaui kewenangan resmi. Ketertarikan saya menulis isu ini bukan hanya karena semakin mewabahnya praktik premanisme di ruang publik, tapi juga karena rasa geram atas ketidakseriusan sebagian pihak dalam mengatasinya. Padahal kedamaian, kenyamanan, dan ketenangan dalam bermasyarakat serta berusaha adalah modal dasar kehidupan sipil yang sehat.

Operasi Berantas Jaya 2025 yang digelar oleh Polda Metro Jaya sejak 9 hingga 23 Mei 2025 memang patut diapresiasi. Sebanyak 1.197 individu yang diduga terlibat dalam praktik premanisme diamankan, dengan 125 di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun angka ini tak hanya mencerminkan kerja keras aparat, melainkan juga memperlihatkan betapa dalam dan luasnya akar masalah ini menjalar di tubuh masyarakat urban. Kita patut bertanya: mengapa mereka terus tumbuh, bahkan setelah berkali-kali "dibersihkan"?

Bagi saya, premanisme bukan sekadar urusan kriminal kecil yang bisa disapu habis dengan razia musiman. Ia mencerminkan bolong sistemik yang belum tertambal sejak lama. Dalam satu sisi, ia adalah bentuk perlawanan terhadap keterpinggiran. Tapi di sisi lain, ia membajak rasa aman warga, menabur teror kecil yang lama-lama jadi kebiasaan. Lewat tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca melihat lebih dalam: apa saja akar persoalan yang membuat premanisme sulit diberantas, dan pendekatan seperti apa yang seharusnya diambil agar kita tak terus hidup berdampingan dengan rasa takut?

1. Reformasi Penegakan Hukum

Sudah bukan rahasia bahwa penanganan premanisme kerap bersifat seremonial. Operasi penertiban hadir sesekali, namun jarang berbuah perubahan jangka panjang. Ini menunjukkan bahwa kita belum benar-benar menyentuh akar persoalan. Reformasi penegakan hukum dibutuhkan bukan hanya dalam bentuk kebijakan tertulis, tetapi juga dalam konsistensi penerapan di lapangan. Ketegasan hukum harus berjalan seiring dengan kepercayaan publik terhadap aparat.

Solusi strategisnya bisa dimulai dengan membangun sistem pelaporan digital yang akuntabel dan melibatkan partisipasi warga. Penguatan integritas aparat melalui pelatihan berkala dan sistem penilaian kinerja berbasis capaian nyata juga penting. Transparansi dalam proses hukum akan menciptakan efek jera sekaligus memutus mata rantai keterhubungan antara kekuasaan informal dan perlindungan hukum yang tidak semestinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun