Ketika Kebun Teh Disulap Jadi Kebun Sayur: Suara Geram dari Pangalengan
"Tanah boleh milik negara, tapi air mata yang jatuh di atasnya milik rakyat."
Oleh Karnita
Pendahuluan: Duka dari Perbukitan Pangalengan
Awal pekan ini, publik dikejutkan oleh kabar memilukan dari dataran tinggi Pangalengan, Bandung Selatan. Puluhan hektare kebun teh milik PTPN VIII yang selama ini jadi sumber penghidupan utama bagi ribuan warga, tiba-tiba beralih fungsi menjadi kebun sayur. Dilaporkan oleh DetikJabar (22/4/2025), warga yang sehari-hari menggantungkan hidup sebagai pemetik teh, kini terpaksa menganggur karena tanaman yang mereka rawat puluhan tahun dibabat habis. Pemandangan hijaunya daun teh digantikan dengan tanah gundul dan tanaman hortikultura. Pahit, bahkan sebelum daun tehnya diseduh.
Ketertarikan menulis isu ini bukan karena sentimen sempit agraria, tetapi karena di balik kebun teh yang digusur itu, ada jeritan buruh tani yang kehilangan bukan hanya pekerjaan, melainkan ruang hidup. Situasi ini menggambarkan bagaimana keputusan sepihak, tanpa partisipasi warga lokal, bisa mengacaukan tatanan sosial dan ekonomi yang sudah terbangun sejak lama. Dan ironisnya, ini terjadi di atas tanah negara yang seharusnya dikelola untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Lebih jauh, kasus ini membuka mata kita pada pentingnya pengawasan atas lahan-lahan milik negara yang dikelola oleh BUMN seperti PTPN. Jika tidak ada transparansi, partisipasi masyarakat, dan keberpihakan terhadap petani lokal, maka sejarah penggusuran akan terus berulang. Tidak hanya di Pangalengan, tapi di berbagai wilayah sentra agraria lainnya di Indonesia.
1. "Pemetik Teh Tak Lagi Punya Daun"
"Gimana lagi, pohon tehnya juga gak ada." — Wildan Awaludin, petani teh.
Pernyataan Wildan mewakili kepedihan kolektif warga Pangalengan. Aktivitas memetik teh bukan sekadar rutinitas, tapi bagian dari identitas sosial dan ekonomi mereka. Ketika kebun teh hilang, yang sirna bukan hanya penghasilan harian, melainkan juga keterikatan emosional dengan tanah yang mereka rawat turun-temurun. Wildan dan ratusan petani lain tak pernah membayangkan lahan itu akan "disulap" tanpa pemberitahuan, tanpa proses yang transparan, dan tanpa pilihan alternatif pekerjaan.