Konsep boarding school tentu menjanjikan kedisiplinan dan intensitas pembinaan karakter. Namun pertanyaannya, apakah sistem ini benar-benar sesuai untuk anak-anak dari latar belakang ekstrem miskin? Apakah asrama mampu menyembuhkan luka struktural yang telah mereka alami? Ataukah justru menjadi bentuk baru pemisahan sosial yang menyamar sebagai keberpihakan?
Guru ASN: Antara Profesionalisme dan Kesanggupan
Pemerintah merencanakan menggunakan guru ASN yang telah lulus PPG untuk mengajar di Sekolah Rakyat setelah melalui seleksi ulang. Tapi, apakah guru ASN yang selama ini terbiasa mengajar dalam ekosistem sekolah reguler siap menghadapi tantangan sosial-emosional khas anak-anak dari desil 1 dan 2 DTSEN? Dibutuhkan bukan hanya kemampuan pedagogis, tapi juga empati, daya lenting, dan keuletan mental luar biasa.
Perjanjian Orang Tua: Kontrol atau Partisipasi?
Salah satu syarat masuk Sekolah Rakyat adalah adanya perjanjian dari orang tua agar anak tidak putus sekolah. Di atas kertas, ini tampak logis. Namun dalam praktiknya, perjanjian ini bisa menjadi bentuk kontrol satu arah, alih-alih membangun partisipasi keluarga. Pendidikan bukan soal menahan anak tetap duduk di bangku sekolah, tapi menjadikan mereka berdaya, tumbuh, dan bermakna.
Infrastruktur dan Tata Kelola: Sudah Siapkah?
Pernyataan bahwa 40 dari 100 lokasi Sekolah Rakyat sudah "siap" patut diapresiasi, tapi apa ukuran kesiapan ini? Apakah mencakup SDM, legalitas, sistem evaluasi mutu, dan mekanisme pengaduan? Tanpa standar mutu yang kuat, Sekolah Rakyat berpotensi menjadi institusi semu yang menambah daftar panjang proyek pendidikan yang cepat redup.
Menjaring Murid, Bukan Menyaring Asa
Mensos menyebut bahwa calon murid harus berasal dari kelompok desil 1 dan 2 DTSEN. Ini pendekatan berbasis data yang baik. Namun proses penjaringan jangan sampai berubah menjadi penyaringan mimpi. Anak-anak bukan angka dalam tabel statistik. Mereka adalah manusia dengan keunikan, trauma, dan potensi. Jangan sampai seleksi malah menambah luka sosial yang selama ini sudah mereka tanggung.
Sekolah Rakyat dan Ironi Pendidikan Formal