Mohon tunggu...
Karmel Simatupang
Karmel Simatupang Mohon Tunggu... Ilmuwan - The Batakland

Pecinta Keutuhan Ciptaan

Selanjutnya

Tutup

Money

Menyoal Proteksionisme dan Globalisasi Baru

18 September 2017   11:09 Diperbarui: 18 September 2017   11:27 1027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh: Karmel Simatupang

Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, sekutu pimpinan Amerika Serikat (AS) giat mempromosikan globalisasi, demokrasi, dan perdamaian dunia. AS yang tampil sebagai negara superpower secara ekonomi, politik dan militer, berkeyakinan bahwa dengan kerja sama internasional di berbagai bidang, terutama ekonomi, akan mampu mencegah perang dunia. Namun, sejak kemenangan Donald Trump sebagai Presiden ke-45 AS, disusul keluarnya Inggris dari Uni Eropa(Brexit), AS cenderung mengarah pada proteksionisme. Menariknya, Tiongkok justru giat promosikan globalisasi inklusif.

Memang tidak ada negara lain yang bisa melarang AS terhadap setiap kebijakan dalam negerinya karena itu sesuai kepentingan nasional dan kedaulatan negaranya. Namun dunia tampak sangat khawatir, proteksionisme Trump akan berdampak terhadap kemacetan perdagangan internasional yang selama ini telah saling berhubungan. Mengingat ekonomi AS masih salah satu kekuatan terbesar pasar ekonomi dunia, tentu kebijakan proteksionisme ini juga berdampak secara global.

Adalah defisit perdagangan dalam empat dekade terakhir menjadi alasan utama Pemerintahan Trump memproteksi dan menarik diri dari perdagangan bebas yang dibangun pendahulunya. Oleh karena itu, Trump ingin mengembalikan kejayaan AS dengan membentengi negeri dari produk-produk asing, sebaliknya memakai produk dalam negeri dan memperkerjakan rakyat AS sesuai kebijakan mengutamakan AS "American First".

Lebih jauh, AS dibawah Trump juga sudah keluar dari pakta perdagangan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), serta mengevaluasi ulang kesepakatan perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA). Mengenakan tarif tinggi terhadap produk-produk yang berasal dari Eropa dan Asia khususnya Tiongkok dan Jepang. Trump merasa AS 'dicurangi' sebab komoditi asing merajalela dalam pasar negeri Paman Sam itu, akibat tidak kompetitipnya komoditi AS. Karena itulah Donal Trump telah memerintahkan pemeriksaan detail kebijakan mitra dagangnya, produk per produk, negara per negara, yang menyebabkan produk AS tak bisa bersaing, (Kompas, 4/4/2017).

Administrasi Trump menyadari, bahwa globalisasi dan perdagangan bebas yang digalakkan pemerintahan AS selama beberapa dekade justru adalah salah satu penyebab kemunduran ekonomi AS. Pemerintahan Trump mengklaim, globalisasi lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaat yang di dapat bagi perekonomian AS. Dengan kata lain, globalisasi menurut Trump seperti logika teori "zero sum game" yang satu mendapat manfaat, pihak lain tidak. Padahal, perdagangan, sebetulnya jelas bermanfaat bagi kedua belah pihak.

Gejolak krisis finansial Tahun 2008 di AS dan berlanjut Tahun 2011 di Eropa yang masih terasa hingga sekarang menjadi pelajaran penting bagi AS, bagaimana para elit mapan mengacaukan ekonomi AS. Kesenjangan ekonomi masih cukup melebar di AS, sebagai akibat kebijakan kapitalisme pasar bebas. Itu sebabnya, Trump dikenal juga menolak kemapanan para elit, politisi dan pejabat. Sebaliknya, Trump seolah ingin mengangkat ekonomi kelas bawah. Hal itu pula yang melambungkan populisme Trump hingga memenangi Pilpres AS, karena dianggap sebagai penyambung lidah rakyat yang selama ini merasa dihempas oleh arus globalisasi.

Meski dunia belum mengetahui sejauh mana tindakan proteksionisme Trump, negara-negara berkembang Asia termasuk Indonesia, pasti terhambat aktivitas perdagangan internasionalnya, sebab Amerika masih menjadi tujuan utama ekspor sejumlah komoditi Indonesia. Selain itu, secara tidak langsung, jika produk-produk Tiongkok dibatasi ke AS, ekspor Indonesia ke Tiongkok juga akan ikut melambat, sebab Tiongkok adalah tujuan kedua paling besar ekspor utama Indonesia.

Ditengah kegalauan akan seperti apa masa depan ekonomi global dibawah Amerika dan Negara Barat lainnya, Tiongkok justru semakin mempromosikan perdagangan internasional dan membuka diri terhadap kerjasama ekonomi regional dan global. Kita melihat fenomena global saat ini ibaratnya AS dan Tiongkok, seperti tukar posisi. Pertumbuhan fantastis ekonomi Tiongkok hingga sekarang oleh banyak pakar memprediksi akan segera menggantikan AS dalam percaturan ekonomi global.

Sebelum Tiongkok menyuarakan komitmen untuk globalisasi seperti saat ini, sebenarnya Tiongkok juga pernah dikenal melakukan proteksionisme pasar di era 1990-an. Namun, seiring pertumbuhan ekonomi Tiongkok dalam 3 dekade terakhir, tentu sangat membutuhkan perluasan pasar dari limpahan produksi industri-industrinya. Singkatnya, Tiongkok memerlukan globalisasi baru untuk mewujudkan mimpi Tiongkok "The Chinese Dream": Tiongkok yang kuat, secara ekonomi, politik, diplomasi, ilmu pengetahuan dan militer, Tiongkok yang sejahtera dan bahagia, sebagaimana dicetuskan oleh Presiden Xi Jinping, sejak terpilih sebagai Presiden Tiongkok 13 Maret 2013 lalu.

Globalisasi baru

Salah satu proyek agresif Tiongkok dalam menjalin kerjasama globalnya diwujudkan melalui inisatif forum satu sabuk satu jalan "One Belt One Road (OBOR) atau Belt Road Initiative (BRI)" yang mengajak hampir 100 negara, untuk ikut berpartisipasi, Beijing, 14-15 Mei 2017. Proyek ambisius 'Jalur Sutra abad 21' ini, bertujuan mendorong pembangunan infrasruktur jalur perdagangan Tiongkok kuno dari Asia ke Eropa, ditambah Afrika melalui darat dan laut. Seiring dengan itu, Tiongkok juga membangun The Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), dengan investasi mencapai 4 triliun dollar AS (Kompas, 15/5/2017).

Ide besar Tiongkok ini ibarat angin segar baru di tengah gencarnya kebijakan proteksionisme dari AS dan sebagian negara Barat saat ini. OBOR dan AIIB ini akan memperkuat kerjasama dan konektivitas di berbagai bidang, mencakup aspek sosial, ekonomi dan budaya. Tentu saja juga akan memperkuat pengaruh Tiongkok di berbagai kawasan akibat kucuran pendanaan infrastruktur massif tersebut. Dengan demikian, Tiongkok jelas ingin menunjukkan komitmennya pada dunia untuk memimpin globalisasi dan perdagangan bebas.

Meskipun, beberapa Negara tidak menyambut baik proyek besar ini seperti India dan sebagian negara Eropa, namun harus diakui bahwa Tiongkok di bawah Xi Jinping telah berubah menjadi aktor utama globalisasi saat ini. Seperti globalisasi tua dan globalisasi baru tersebut, dampak negatif dan positif akan selalu berjalan beriringan. Yang menjadi pelajaran penting adalah bagaimana suatu negara dapat memanfaatkan kesempatan menjadi peluang besar membangun ekonomi dalam negeri, sama seperti Tiongkok memanfaatkan globalisasi selama ini.

Mengutip ajakan Presiden Joko Widodo menyikapi bayang-bayang proteksionisme dan globalisasi baru ini, Indonesia penting untuk tetap optimis mengejar kepentingan nasionalnya, bahwa masa depan kemakmuran dunia adalah Asia. Dengan proteksionisme, Indonesia misalnya, begitu penting menghidupkan kerjasama perdagangan regional seperti ASEAN dan menggalang kerjasama dagang bilateral lainnya. Disamping itu, sangat perlu terus memperkuat daya saing nasional agar bertumbuh sejajar dan berdaya saing dalam setiap dinamika ekonomi global terkini. ***

Penulis adalah Staf Pengajar di FE UMI-Medan, Alumnus Hubungan Internasional, Tunghai University, Taiwan

Sumber:

http://harian.analisadaily.com/opini/news/menyoal-proteksionisme-dan-globalisasi-baru/373125/2017/07/07

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun