Mohon tunggu...
Karla Wulaniyati
Karla Wulaniyati Mohon Tunggu... Lainnya - Senang Membaca dan (Kadang-kadang) Menulis di karlawulaniyati.com

Let the beauty of what you love be what you do (Rumi)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pagpag Makanan dari Sampah yang Membuat Sedih dan Miris

19 Februari 2019   17:34 Diperbarui: 19 Februari 2019   18:27 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya saya merasa unik dengan budaya Inemuri di Jepang. Kemarin saat jalan-jalan di search engine saya menemukan artikel di salah satu portal berita online judulnya membuat saya ingin mengklik dan tahu lebih lanjut tentang beritanya. 

Judul beritanya Mengenal Pagpag Menu Favorit Warga Miskin Filipina yang Terbuat Dari Sampah.

Setelah itu saya berkeliling ingin tahu ulasannya lebih banyak di beberapa portal berita online.

Awal membaca artikel saya kaget, makanan terbuat dari sampah apa maksudnya? 

Ternyata di Filipina diantaranya kawasan kumuh Tondo, Utara Manila ada makanan terutama daging yang berasal dari sampah terutama sampah sisa restoran, diambil lalu dicuci langkah selanjutnya dimasak dikenal dengan sebutan pagpag yang diterjemahkan sebagai makanan sampah atau ayam sampah. (erabaru.net)

Pagpag sebenarnya merupakan istilah yang digunakan untuk debu yang melekat pada pakaian atau karpet. Namun, masyarakat Dilipina juga menggunakan kata pagpag untuk menyebut daging yang dibuang lalu dibersihkan dan dimasak menjadi makanan murah. (cnnindonesia.com)

Pagpag dijual kembali ke masyarakat miskin di kawasan kumuh Manila. Bahkan pagpag menjadi makanan sehari-hari. 

Pagpag jadi bisnis menguntungkan karena sampai ada pengepulnya segala sehingga pedagang lebih murah membeli pagpag dari pengepul. 

Pemulung yang tidak jarang bersaing dengan kucing liar dan tikus mengumpulkan daging dari restoran atau supermarket yang berupa sisa atau daging kadaluarsa. 

Setelah dikumpulkan dijual ke pengepul lalu dibeli oleh pedagang. Daging yang dibeli dicuci untuk menghilangkan kotoran yang melekat, dimasak biasanya dengan bumbu bararoma tajam, lalu dijual. 

Daging yang akan dibuang kadang disemprot disinfektan tetapi bukan hal yang tidak mungkin patogen tetap ada yang menyebabkan beraneka macam penyakit bahkan kematian. 

Masyarakat miskin di daerah kumuh yang biasa mengkonsumsi pagpag berpendapat bahwa bakteri-bakteri dari sampah makanan ini bisa dihilangkan selama memasaknya dengan suhu tinggi. 

Pagpag yang semula sebagai pilihan terakhir jika sudah tidak ada makanan karena tidak ada uang untuk membeli beras apalagi lauk pauk namun kini karena keadaan ekonomi dan inflasi terus meninggi pagpag menjadi konsumsi setiap hari selain itu untuk menghindari diri untuk meminta-minta. (liputan6.com)

Membaca ulasan seperti itu yang ada saya merasa sedih dan miris, apalagi mengingat banyak yang membuang-buang makanan. Kadang makanan menjadi hal yang tidak penting dan tidak berharga jika melihat perlakuan orang yang mudah mendapatkan makan karena berlimpahnya uang, padahal di negara lain orang sampai mengais sampah, membaui, diambil, dibersihkan, dimasak kembali, lalu dikonsumsi. 

Selain sedih dan miris keprihatinan juga menjadi hal yang saya rasakan karena kemiskinan sampai mengantarkan ke level mengkonsumsi pagpag. 

Menjadi satu keyakinan yang saya miliki bahwa yang Maha Kuasa hanya menghadirkan dua keadaan untuk manusia bahwa jika tidak kaya maka manusia akan berada dalam level cukup. 

Jika seseorang tidak cukup maka setidaknya bagian si kaya memberikan bantuan agar yang tidak cukup menjadi cukup bisa dengan zakat, sodaqoh, infaq, dan jenis bantuan lainnya. 

Kemiskinan sebenarnya terjadi karena manusia selalu tidak merasa cukup dengan apa yang sudah diberikan dalam hidupnya apalagi sekaligus ditunggangi keserakahan dan hawa napsu. Bahkan orang yang berlimpah hartapun bisa juga dikategorikan miskin jika dalam hidupnya selalu meminta pada orang lain.

Memang bukan suatu hal yang mudah untuk menanggulangi apalago menuntaskan kemiskinan tapi setidaknya jika semua komponen masyarakat membantu mengentaskan kemiskinan tidak ada cerita tentang pagpag. Walau terjadi di negara lain tetap saja menjadi satu keprihatianan tersendiri. Mudah-mudahan tidak terjadi di negara tercinta ini karena negara ini adalah negara kaya akan sumber daya alam yang sudah sepatutnya masyarakatnya pun tidak sampai harus mengais makanan di tempat sampah untuk konsumsi makan sehari-hari. 

Kalau budaya Inemuri saya ingin menyaksikan langsung ke Jepang tetapi kalau pagpag saya cukup tahu dari berita saja karena hanya dengan membaca saja sudah membuat sedih dan miris.

Karla Wulaniyati Untuk Kompasiana
Karawang, Selasa 19 Februari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun