Shalikah duduk lemas di kursi. Bukan karena lelah sehabis berjalan ke tukang bakso untuk membelikan bakso yang diminta si bungsu. Shalikah lemas atas apa yang didengarkannya saat di tukang bakso.
Bukan gosip tentang kesendiriannya. Bukan juga nyinyiran karena kesederhanaan setelah masa jaya sebelumnya. Shalikah lemas karena luluh oleh lagu yang didengar saat menunggu pesanan bakso.
Kedai bakso yang Shalikah kunjungi memang sering memperdengarkan lagu agar pengunjung betah kata si pemilik bakso. Shalikah biasanya tidak terpengaruh dan menganggap biasa saja kalau berkunjung ke sana lalu mendengarkan lagu yang diputar, tetapi tidak untuk tadi.
"Lihat kerinduan itu.
Menjelma sungai yang airnya sering kau teguk.
Tepian tempatmu menangis.
Dalam gelap."
Shalilah bertanya siapa yang menyanyikan lagu pada pemilik kedai bakso dan dijawab lagu dari Payung Teduh, judulnya Muram. Saat berjalan pulang bukan hanya judul lagunya saja Muram, tapi Shalikahpun ikut muram.
Di rumah si bungsu lahap menyantap baksonya, sementara Shalikah duduk masih belum bisa menguasai diri pengaruh kata-kata dalam lagu yang baru didengarkan. Shalikah bergumam, "Akupun muram karena kerinduan." Air mata Shalikah menetes tak disadarinya.
###
Pukul 02.00 Shalikah masih duduk bersimpuh di hamparan sajadah sambil mendekap Alquran. Kali ini airmatanya bukan menetes tetapi mengalir deras.
Shalikah seorang wanita tegar, kuat, dan tangguh dalam menghadapi kerasnya kehidupan terutama saat belahan jiwa pergi lebih dulu meninggalkannya.Â
Tidak ada yang bisa meruntuhkan dan.mengguncangkannya, kekurangan materi, gosipan status sendirinya, nyinyiran yang tak pernah habis, kesedihan buah hati yang menyayat, semua tidak meruntuhkan bahkan lebih mengukuhkan ketangguhannya dalam menjalani hidup.
Shalikah terguncang dan runtuh hanya oleh satu hal. Shalikah runtuh oleh kerinduan.