Pernahkah kita merasa bahwa percakapan sederhana berubah menjadi perdebatan hanya karena salah paham? Atau kita tergesa menilai tanpa benar-benar memahami maksud orang lain? Jika iya, mungkin sudah saatnya kita bercermin dan bertanya pada diri sendiri seberapa sering kita benar-benar mendengarkan bukan sekadar menunggu giliran berbicara.
Di masa kini ketika segalanya berlangsung cepat, kebiasaan untuk bertanya dengan sopan dan mendengarkan dengan sungguh-sungguh sering terlupakan. Anak muda terbiasa menanggapi sesuatu secara spontan di media sosial, sementara orang tua terkadang berpegang teguh pada pandangan lama tanpa memberi ruang bagi penjelasan yang berbeda. Padahal kemampuan untuk bertanya dan mendengar dengan baik adalah keterampilan penting bagi siapa pun, baik muda maupun tua. Keterampilan ini bukan hanya membantu menyelesaikan masalah, tetapi juga menjaga hubungan dan menciptakan komunikasi yang lebih hangat.
Jika kita perhatikan, banyak percakapan sehari-hari yang berubah arah dengan cepat. Obrolan ringan bisa berakhir dengan perdebatan hanya karena tidak ada yang benar-benar memahami maksud lawan bicara. Bertanya dengan baik sebenarnya dapat membuka jalan menuju pemahaman yang lebih luas, sedangkan mendengarkan dengan penuh perhatian menunjukkan rasa hormat terhadap orang lain. Dua hal sederhana ini sering diabaikan, padahal menjadi dasar dari komunikasi yang sehat.
Contoh yang paling mudah terlihat di sekitar kita. Di ruang kelas, mahasiswa kadang langsung menanggapi pendapat tanpa memahami konteks yang dimaksud. Di rumah, anak muda merasa disalahpahami karena orang tua menasihati dengan cara yang dianggap terlalu keras. Di media sosial, diskusi sering berubah menjadi adu argumen karena sedikit yang mau menanyakan apa sebenarnya maksud dari sebuah pernyataan. Masalah utamanya bukan pada perbedaan pendapat, melainkan pada kebiasaan kita yang jarang bertanya dan mendengarkan dengan empati.
Lalu bagaimana agar kebiasaan itu bisa tumbuh kembali? Kita bisa mulai dengan menahan diri sejenak sebelum merespons sesuatu. Cobalah menanyakan maksud lawan bicara dengan kalimat sederhana seperti "Apa yang kamu maksud dengan itu" atau "Bisa dijelaskan sedikit lagi". Saat mendengarkan, fokuslah pada isi pembicaraan, bukan pada nada atau emosi. Setelah lawan bicara selesai, ulangi inti pesannya untuk memastikan kita memahami dengan benar.
Kebiasaan ini bermanfaat bagi siapa pun. Orang tua yang mau bertanya dengan lembut akan membuat anak merasa dihargai. Anak muda yang mau mendengarkan dengan sabar akan memahami lebih banyak sebelum memberi tanggapan. Dalam lingkungan kerja atau kampus, budaya bertanya dan mendengar dengan hormat akan menciptakan suasana diskusi yang terbuka dan produktif.
Namun yang paling penting adalah menyadari bahwa tujuan bertanya bukan untuk mengoreksi, melainkan memahami. Tujuan mendengarkan bukan untuk membalas, tetapi menghargai. Coba kita renungkan berapa banyak kesalahpahaman yang sebenarnya bisa dihindari jika kita lebih sabar mendengar dan lebih berhati-hati saat menanyakan sesuatu.
Mulailah dari langkah kecil. Dengarkan tanpa menyela, tanyakan maksud orang lain sebelum menilai, dan gunakan bahasa yang lembut. Saat berkomunikasi di dunia digital, biasakan membaca dengan teliti sebelum berkomentar. Tidak masalah jika berbeda pendapat selama disertai niat baik dan sikap saling menghormati.
Kemampuan bertanya dan mendengar memang tampak sederhana, tetapi justru di sanalah letak kedewasaan seseorang dalam berkomunikasi. Di tengah derasnya arus informasi, dua hal itu menjadi pengingat bahwa setiap orang ingin dipahami. Sebelum menunjuk kesalahan orang lain, mari kita bercermin dan bertanya apakah kita sudah benar-benar mau mendengar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI