Yogyakarta selalu punya cara sendiri untuk menyimpan kenangan. Ada yang pulang membawa lukisan batik, ada pula yang menenteng sekeranjang bakpia hangat. Tapi aku, aku pulang dengan sepotong malam yang bercahaya dari ketinggian --- malam di Bukit Bintang bersama dia.
Malam itu, kota Yogyakarta belum benar-benar tidur. Lampu-lampu jalan menyala temaram, menerangi jalanan yang mulai lengang. Angin malam berhembus lembut, menyapu wajah kami yang berboncengan di atas motor. Aku dan dia --- seseorang yang kini tak lagi hanya sekadar teman, tapi lebih dari itu --- memutuskan untuk mencari tempat yang bisa menenangkan kepala dan menghangatkan hati.
Perjalanan dimulai dari pusat kota. Jalanan sedikit basah oleh sisa hujan sore, menyisakan aroma tanah yang khas dan menenangkan. Kami melaju perlahan, menyusuri Jalan Wonosari yang berkelok-kelok. Lampu kendaraan sesekali menyorot dari arah berlawanan, menciptakan permainan cahaya yang sejenak membuat jalanan tampak seperti layar bioskop. Motor kami melaju di antara keheningan, hanya diiringi suara knalpot yang lembut dan denting obrolan kecil di antara kami. Ditengah perjalanan hujan semakin deras yang mengharuskan kami menggunakan jas hujan. Kami melipir di sebuah ruko kecil untuk mengenakan jas hujan sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan.
Suasana malam memberikan kesan yang berbeda. Tidak secerah siang, tapi justru lebih intim. Langit di atas gelap, namun bertabur bintang yang malu-malu. Di kanan kiri, rumah-rumah penduduk sudah banyak yang memadamkan lampunya. Tapi dari kejauhan, cahaya kota Yogyakarta mulai tampak --- redup, tapi menenangkan, seperti harapan kecil di tengah gelapnya hidup.
Setibanya di Bukit Bintang, waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah sembilan malam. Tak banyak orang di sana, hanya beberapa pasangan dan rombongan kecil yang duduk di warung sambil menyeruput kopi. Kami memilih satu sudut yang agak sepi, tepatnya di tangga ketiga setelah kami turun. tempat di mana kami bisa melihat pemandangan tanpa gangguan. Dari sana, kota Jogja terhampar luas, memamerkan kilauan lampunya yang gemerlap seperti permata yang tersebar di karpet hitam.
Angin dari ketinggian membelai kami. Dingin, tapi tak membuat risih. Justru membuat hangatnya teh yang kami pesan terasa lebih bermakna. Kami duduk berdampingan, menyandarkan lelah di kayu lesehan sederhana. Obrolan kami ringan, tapi penuh makna. Tak ada topik berat, hanya tentang obrolan yang tidak ada isinya, candaan yang sesekali membuat tawa diantara kami tapi meskipun begitu, kesederhanaan itulah yang membuatku ingin berlama- lama di sana.
Bukit Bintang di malam hari benar-benar seperti namanya. Dari atas sini, bintang tak hanya ada di langit, tapi juga di bawah sana --- di kerlap-kerlip lampu kota yang tak pernah padam. Rasanya seperti dunia terbalik: langit dan bumi sama-sama menyala, menyuguhkan dua dimensi keindahan yang berpadu jadi satu. Dalam diam kami memandang, seolah takut jika berkata-kata akan mengusik kesempurnaan malam itu.
Ketika malam makin larut, dan bintang-bintang mulai bersembunyi di balik awan, kami pun bersiap untuk kembali. Tapi sebelum pergi, aku sempat menoleh sekali lagi ke arah kota. Dari atas, Jogja tampak seperti miniatur kehidupan --- kecil, namun berarti. Di saat itulah aku sadar, bahwa Bukit Bintang telah memberiku lebih dari sekadar panorama. Ia memberiku pengalaman, dan lebih dari itu, kenangan bersama seseorang yang bersamaku di sana.
Waktu berjalan tanpa terasa. Jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Warung yang kami datangi mulai membereskan dagangan, dan udara semakin menusuk kulit. Tapi aku masih enggan beranjak. Seperti ingin menahan waktu, agar malam ini tak cepat berlalu. Tapi seperti semua hal dalam hidup, malam pun harus berakhir.
Dalam perjalanan pulang, jalanan makin sepi. Langit masih gelap, tapi tidak dengan kenangan. Aku merasa malam itu begitu tenang. Tidak ada janji, tidak ada rencana besar, tapi malam itu cukup untuk membuatku tahu: ada hal-hal yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.