Setiap kali topik teknologi diangkat, sering muncul pertanyaan populer "Kenapa Indonesia belum bisa membuat chip semikonduktor sendiri?" Padahal, kita bangga punya banyak orang pintar dan sumber daya alam yang melimpah. Apakah tidak cukup? Kenyataannya, memiliki individu cerdas saja belum cukup jika tidak ada ekosistem riset dan rekayasa teknologi yang matang. Bahan baku bukan faktor penentu utama, kemampuan teknologi lah kuncinya. Tanpa fokus jangka panjang untuk membangun kapasitas rekayasa, orang-orang pintar kita bisa jadi hanya menjadi komentator atau penonton perkembangan teknologi negara lain.
Untuk memahami kenapa membuat chip itu sulit, mari tengok salah satu teknologi inti pembuatan chip, mesin litografi. Mesin litografi berfungsi "mencetak" pola sirkuit pada wafer silikon, mirip proses cetak foto pada tingkat nano. Semakin canggih chip yang ingin dibuat, semakin canggih pula mesin litografi yang dibutuhkan. Saat ini, produksi chip paling maju (misal pada level 5 nm atau 3 nm) mengandalkan litografi EUV (Extreme Ultraviolet), teknologi rumit yang hanya dikuasai segelintir pihak.
Faktanya, hingga tahun 2023 hanya satu perusahaan di dunia yang mampu memproduksi mesin litografi EUV, yaitu ASML asal Belanda. Mesin EUV ini menjadi alat utama untuk membuat chip tercanggih karena mampu menghasilkan pola super kecil dengan sinar ultraviolet ekstrem.
Betapa kompleksnya mesin EUV? Mesin ini termasuk salah satu perangkat teknologi paling rumit yang pernah dibuat manusia. Ia terdiri dari lebih 100.000 komponen dan mengintegrasikan berbagai ilmu optik presisi (lensa dari Zeiss Jerman), laser plasma (sumber cahaya dari Cymer AS), mekatronika, hingga kontrol kebersihan tingkat tinggi. Pembuatan satu mesin melibatkan kolaborasi ratusan pemasok di berbagai negara. Biaya pembuatannya juga fantastis sekitar $150 juta atau setara Rp. 2 Triliun per unit. Ukurannya sebesar bus sekolah, beratnya mencapai 150 ton, dan pengirimannya memerlukan hingga tiga pesawat kargo karena komponennya dikemas dalam 250 peti terpisah. Tak heran produksi mesin ini pun terbatas, ASML hanya mampu merakit sekitar 50 mesin EUV per tahun karena tingkat kerumitan.
Melihat contoh di atas, jelas bahwa membangun teknologi semacam ini tidak bisa instan. Dibutuhkan investasi jangka panjang, riset bertahun-tahun, dan ribuan insinyur andal untuk mencapai level tersebut. Bahkan negara sekaliber Tiongkok pun masih kesulitan membuat chip tercanggih karena terkendala akses pada mesin EUV ini. Artinya, keunggulan teknologi dicapai lewat proses panjang, bukan sekadar karena memiliki orang-orang pintar semata. Orang pintar tanpa dukungan infrastruktur dan riset bisa jadi hanya mampu mengagumi teknologi buatan pihak lain.
Mari menoleh ke sejarah negara lain yang berhasil membangun kemandirian teknologi. Korea Selatan pada awal 1970-an kondisinya masih miskin dan tertinggal, bahkan di bawah Indonesia kala itu. Namun mereka melakukan lompatan besar dengan menumbuhkan budaya rekayasa dan inovasi secara nasional. Seorang profesor Korea, Park Sang-il, mengenang masa mudanya pada tahun 1970-an "Hampir semua anak muda ingin jadi insinyur ketika itu," ujarnya. Semangat generasi muda Korea saat itu adalah membangun negeri menjadi negara industri. Menjadi insinyur dipandang sebagai jalan pengabdian dan kebanggaan.
Tentunya semangat saja tidak cukup tanpa langkah konkret. Pemerintah Korea Selatan pada dekade 1980-an hingga 1990-an aktif mengirim banyak pemuda berprestasi ke luar negeri (Amerika Serikat, Jepang) untuk belajar ilmu dan teknologi tinggi. Park Sang-il termasuk di antaranya, ia dikirim belajar elektronika dan semikonduktor hingga meraih gelar doktor di AS, lalu kembali ke Korea. Sepulangnya, ia bergabung dengan Samsung dan menjadi salah satu tokoh kunci di balik kesuksesan Samsung Electronics mengembangkan teknologi chip dan ponsel pintar. Banyak juga insinyur Korea lain menempuh jalur serupa.
Pemerintah Korea juga memberikan insentif besar bagi industri teknologi domestik serta menanamkan kebanggaan pada produk lokal. Hasilnya, dalam beberapa dekade Korea berubah dari importir menjadi raksasa teknologi. Perusahaan seperti Samsung dan SK Hynix kini memimpin industri chip memori dunia, buah dari investasi panjang di bidang rekayasa sejak era 70-an.
Pesan penting dari pengalaman Korea Selatan adalah sumber daya manusia insinyur harus dibina dan difasilitasi secara serius dalam jangka panjang. Budaya yang mendorong generasi muda menjadi pencipta teknologi, dukungan pendidikan dan penelitian, serta kolaborasi erat antara akademisi dan industri, semuanya harus berjalan seiring. Mereka tidak hanya memuji anak muda yang pintar, tapi memberikan jalan dan wadah agar kepintaran itu berbuah inovasi nyata.
Kembali ke Indonesia, sudah waktunya kita berbenah jika ingin mengejar ketertinggalan teknologi. Kebanggaan atas banyaknya "orang pintar" harus diimbangi dengan usaha mencetak banyak "insinyur andal". Apa bedanya? Seorang insinyur bukan hanya pintar secara akademis, tetapi juga terlatih untuk merekayasa solusi, membuat prototype, melakukan eksperimen, dan berani gagal lalu mencoba lagi. Untuk melahirkan banyak insinyur hebat, diperlukan ekosistem yang mendukung laboratorium riset yang memadai, pendanaan penelitian yang berkelanjutan, dan keterkaitan yang erat antara kampus dengan industri.
Saat ini, tantangan kita terlihat dari data jumlah peneliti dan insinyur di Indonesia masih sangat rendah dibanding negara maju. Sebagai ilustrasi, Indonesia hanya memiliki sekitar 400 peneliti per sejuta penduduk (Full-Time Equivalent, 2020). Angka ini menempatkan kita di peringkat 78 dunia, tertinggal jauh dari negara-negara industri. Belanja riset nasional pun hanya sekitar 0,28% dari PDB kurang dari seperenam proporsi yang diinvestasikan negara-negara seperti Korea Selatan atau Jepang (yang membelanjakan 2-4% PDB mereka untuk R&D). Dengan kondisi demikian, wajar jika output inovasi kita rendah. Banyak "orang pintar" akhirnya tidak terserap di bidang penelitian atau manufaktur berteknologi tinggi, melainkan teralihkan ke sektor lain atau bahkan ke luar negeri.