Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money

Harga Gas Industri Indonesia: Turun dalam Dua Bulan?

29 November 2016   19:42 Diperbarui: 30 November 2016   19:39 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.oilgasid.com

Pada tanggal 4 Oktober 2016, Presiden Joko Widodo menggelar sebuah rapat untuk membahas harga gas industri Indonesia. Ia menyinggung harga gas industri Indonesia yang relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam, Singapura dan Malaysia. Harga gas industri di Indonesia saat ini berkisar antara US$ 8-12/MMBTU (Millon British Thermal Units). Sedangkan, harga gas industri di Vietnam adalah sebesar US$ 7/MMBTU dan harga gas industri di Malaysia dan Singapura adalah sebesar US$ 4/MMBTU.  

Ia juga mengatakan bahwa “tingginya” harga gas industri tersebut perlu dibenahi, karena berdampak pada kurangnya daya bersaing industri yang memerlukan gas sebagai faktor produksi di dunia internasional. Maka dari itu, Ia menugaskan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Menteri Perindustrian dan Menteri Keuangan untuk menurunkan harga gas industri menjadi  kurang dari US$ 6/MMBTU dalam waktu dua bulan. Namun, apakah menurunkan harga gas merupakan solusi yang tepat bila pemerintah mempertimbangkan dampaknya bagi seluruh stakeholder industri gas?

Perlu diketahui bahwa untuk menangani permasalahan tingginya harga gas industri, diperlukan pemahaman mendalam mengenai sebab dari tingginya harga tersebut. Alasan pertama, bahwa harga gas yang dialokasikan untuk industri kebanyakan sudah di atas US$ 6/MMBtu sejak di hulu. Hal ini dikarenakan proses pengolahan minyak yang belum cukup efektif sehingga biaya pengolahan tidak dapat ditekan.

Kedua, proses distribusi gas dari hulu sampai hilir juga belum efektif. Karena dalam rantai distribusi gas, pemasok gas terlalu banyak. Ada pemasok tak bermodal infrastruktur yang hanya menjadi calo saja. Seharusnya trader gas harus ikut membangun infrastruktur gas sebagai sarana dalam menjual gas, sehingga biaya distribusi gas dapat ditekan. Sebaliknya, banyaknya trader di rantai membuat harga gas yang sampai pada konsumen menjadi tidak efisien. Hal ini dikarenakan marjin keuntungan yang diambil oleh masing-masing trader saat menjual gas ke pemasok selanjutnya.

Selain banyaknya pemasok gas di rantai distribusi gas, terdapat faktor lain yang mempengaruhi harga gas industri, yaitu biaya-biaya lain yang harus dipertimbangkan dalam distribusi gas. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, belum efektifnya sarana distribusi gas sampai ke konsumen belum cukup memadai sehingga biaya distribusi menjadi lebih mahal. Terdapat biaya pemakaian pipa untuk memindahkan gas, Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%, marjin keuntungan untuk badan usaha pemilik pipa, biaya pemeliharaan pipa distribusi, serta dan biaya pengembalian investasi pembangunan pipa gas.

Apabila akar-akar permasalahan tingginya harga gas tersebut dapat diatasi, hal pertama yang akan menerima dampaknya adalah industri yang memakai gas sebagai faktor produksi, dimana biaya produksi akan turun seiring dengan penurunan harga faktor produksi tersebut. Selain itu, IGN Wiratmaja Puja selaku Dirjen Migas Kementerian ESDM mengatakan bahwa penurunan harga gas industri akan Mendorong kegiatan ekonomi sehingga menimbulkan penerimaan pajak baru antara Rp 12 triliun hingga Rp 24 triliun. Selain itu, “multiplier effect” yang dihasilkan bisa mencapai Rp 137,9 triliun jika harga gas per MMBtu diturunkan sebesar $ 2.

Untuk mewujudkan rencana penurunan harga gas, pemerintah telah mengajukan beberapa solusi. Pelaksana Tugas (Plt) Menteri ESDM Luhut Binsar Panjaitan menyebut merger dua BUMN sektor migas, yakni PT Perusahaan Gas Negara ( PGN) Tbk dan PT Pertamina Gas (Pertagas) akan mampu menekan harga gas untuk industri. Hal ini berpengaruh terhadap kemudahan distribusi gas, dimana kedua BUMN tersebut dapat saling memanfaatkan pipa secara bersama. Selain itu, Ia juga telah mempersiapkan strategi zonasi, dimana harga gas akan disesuaikan per wilayah. "Harga gas kan yang kita buat itu zonasi. Jadi di Indonesia Timur gasnya kita kasih untuk Indonesia Timur. Gas yang di Indonesia Tengah, kita fokus ke Indonesia Tengah. Supaya mengurangi transportation costnya. Yang di Indonesia Barat ya di Indonesia Barat," ujar Luhut Binsar Panjaitan. Walaupun, strategi zonasi ini diikuti dengan rencana peningkatan impor gas industri.

Namun, tentu ada pihak yang dirugikan apabila rencana penurunan harga gas industry ini berhasil dilakukan. Diantaranya adalah perusahaan pengelola gas alam itu sendiri. Penurunan harga gas menjadi dibawah  US$ 6/MMBTU akan menimbulkan kerugian bagi beberapa perusahaan gas. Hal ini dikarenakan tingkat kesulitan pengelolaan gas di berbagai lapangan sumber gas berbeda-beda, terdapat lapangan sumber gas yang baru akan mencapai skala keekonomian jika harga gas di atas US$ 6/MMBTU. Pemerintah juga tidak dapat menurunkan harga gas secara sepihak karena telah terikat kontrak mengenai harga gas dengan kontrator migas.

Penurunan harga gas di hulu juga akan menurunkan minat investor untuk melakukan produksi dan eksplorasi gas di Indonesia, karena harga gas di hulu menjadi kurang ekonomis. Dampaknya, penurunan harga gas di hulu dapat merusak iklim investasi di sektor hulu migas. Selain itu, tahap awal dalam penurunan harga gas harus dilakukan dengan subsidi. Seperti Malaysia yang menggunakan sistem subsidi dengan tidak mengambil porsi bagi hasil pemerintah dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)-nya. Namun, hal ini dapat menyebabkan hilangnya penerimaan negara sebesar USD 544 juta per tahun.

Berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah memang memiliki tujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam praktiknya pengambilan kebijakan seringkali tidak dapat memuaskan seluruh pihak terkait. Pasti ada pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan dalam setiap penetapan kebijakan. Maka, untuk meminimalisir dampak negatif dari penurunan harga gas, pemerintah perlu mengkaji kembali tingkat harga gas industri yang sesuai dengan kebutuhan industri maupun perusahaan pengelola gas. Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan dan menertibkan gerak-gerik “mafia gas”, yang  merupakan “faktor utama” penyebab pengelolaan industri gas di Indonesia menjadi tidak efisien.

Sumber: 1, 2, dan 3.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun