Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kapitalisme dalam Industri Sepak Bola

2 Agustus 2019   18:47 Diperbarui: 3 Agustus 2019   00:00 1318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adakah Solusi untuk Meredam Serangan Kapitalisme?
Salah satu solusi terhadap ketidakseimbangan tersebut diajukan Michel Platini, mantan presiden UEFA. Ia mencetuskan konsep Financial Fair Play (FFP) berdasarkan fakta bahwa lebih dari setengah klub di Eropa menderita kerugian akibat ketidakseimbangan neraca keuangan. Hal tersebut utamanya terjadi akibat pembelian pemain dengan nominal besar menggunakan utang yang tidak dibarengi oleh penjualan pemain dengan nominal yang relatif serupa, sehingga hal tersebut dinilai UEFA membahayakan bagi finansial klub.

Aturan FFP membatasi setiap klub yang berada di bawah UEFA (Asosiasi Sepak bola Eropa) dalam menggunakan uang yang dimilikinya dengan memberi batas kerugian minimum dalam nominal tertentu yang harus dipenuhi setiap klub dalam aktivitas jual beli pemain, termasuk pembayaran gaji dalam kurun waktu satu musim kompetisi. Apabila melanggar, sanksi berat dari UEFA telah menunggu, dari denda dan pengurangan poin sampai larangan bermain pada kompetisi UEFA seperti Liga Champions dan Liga Europa.

Pada dasarnya, aturan ini dibuat untuk memastikan setiap klub yang ingin membeli pemain dalam jumlah banyak ataupun membeli pemain mahal agar benar-benar mampu secara keuangan, sehingga tidak terjerat hutang dalam jumlah besar yang dapat membebani finansial klub itu sendiri.

Tujuan lainnya adalah membatasi setiap klub, terutama klub elit dan kaya raya, untuk tidak dengan mudah menggelontorkan dana yang banyak dalam anggaran belanja yang tak terbatas untuk membeli pemain, sehingga dapat menciptakan ketimpangan kualitas klub yang membuat kompetisi kurang kompetitif. Hal ini tentu sejalan dengan keinginan untuk meredam arus kapitalisme yang ada di dunia sepak bola.

Namun begitu, berbagai klub elit tetap saja berusaha dengan berbagai cara agar dapat memanipulasi laporan finansialnya kepada UEFA untuk dapat berbelanja pemain dengan dana lebih. Salah satu contohnya yaitu Manchester City, yang diketahui melakukan praktik kecurangan dengan mengakui kesepakatan sponsor dengan Etihad Airways [10]. 

Kesepakatan tersebut belakangan ini diketahui hanya merupakan dalih untuk menutupi pemberian dana pribadi dari pemilik The Citizens yaitu Sheikh Mansour yang memiliki relasi yang kuat dengan Etihad. Uang tersebut diduga digunakan untuk memuluskan transfer Riyad Mahrez dari Leicester City musim lalu.

Kasus di atas memaparkan bahwa pada kenyataannya klub elit sepak bola dapat melakukan berbagai cara agar dapat melakukan aktivitas transfer sesuai dengan keinginan mereka. Apabila hal tersebut terjadi secara berkepanjangan, potensi ketimpangan kualitas antar klub makin besar dan makin sulit bagi kita untuk dapat meredam kapitalisme yang berlebihan ini di dunia sepak bola saat ini.

Mungkin kapitalisme tidak dapat dihilangkan sepenuhnya dari dunia sepak bola karena telah menjadi bagian dari sepak bola itu sendiri. Akan tetapi,kapitalisme yang berlebihan dan merugikan banyak pihak (termasuk penikmat sepak bola) dapat diredam dengan melakukan pembinaan pemain akademi bagi klub sepak bola. 

Selain itu, solusi yang dapat diambil oleh para regulator kompetisi adalah dengan memperketat pengawasan terhadap keuangan klub, menyelidiki adanya indikasi dari klub untuk melakukan praktik kecurangan, serta memberikan hukuman yang sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh setiap klub. Maka dengan demikian, arus kapitalisme di dunia sepak bola akan dapat diredam dan semangat kompetisi dalam nyawa permainan sepak bola akan tetap terjaga.

"In everything we do, football must always be the first and most important element that we take into consideration. Football is a game before being a product, a sport before being a market, a show before being a business"  -'Eleven Values' of UEFA[11]

Oleh M Fajar Ramadhan | Ilmu Ekonomi 2018 | Staff Kajian Kanopi FEB UI 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun