Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kapitalisme dalam Industri Sepak Bola

2 Agustus 2019   18:47 Diperbarui: 3 Agustus 2019   00:00 1318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai olahraga yang paling populer di dunia[1], sepak bola telah tumbuh menjadi salah satu industri bidang olahraga terbesar di dunia. Sepak bola dahulu dikenal sebagai ajang hiburan sederhana dan penghilang rasa jenuh bagi rakyat biasa dan tentara. Kini, ia telah bertransformasi menjadi permainan yang diakomodasi oleh pemilik modal, di mana keberhasilan suatu klub diukur oleh valuasinya, pemain bintang yang dimilikinya, serta banyaknya trofi yang diraihnya.

Lantas, bagaimanakah sebuah "permainan rakyat" yang membawa nilai-nilai sosial seperti kerjasama tim dan solidaritas dapat berkembang menjadi sebuah industri raksasa yang mampu menarik modal seluas-luasnya dan menghasilkan miliaran euro dan poundsterling. Lalu, apakah yang membuat industri sepak bola modern memiliki kisah sukses kapitalisme yang berlebihan di baliknya sehingga menyebabkan sepak bola saat ini seperti kehilangan esensinya?

Perwujudan Kapitalisme dalam Sepak Bola
Bila kita berbicara tentang sepak bola, tentu kita tidak dapat terlepas dari benua Eropa yang disebut-sebut sebagai kiblat sepak bola modern. Bukti keberhasilan benua biru dalam pengembangan sepak bola adalah perwakilan benua ini berhasil menjadi pemenang di 12 dari 21 edisi Piala Dunia FIFA[2]. 

Di benua biru ini, lahirlah kompetisi-kompetisi sepak bola profesional dan modern seperti Liga Inggris/ English Premier League(EPL) , Liga Spanyol/ La Liga, Liga Italia/ Serie A, dan kompetisi domestik lainnya dari negara-negara di Eropa yang perkembangannya telah jauh apabila dibandingkan dari benua lainnya.

Praktik kapitalisme, terutama di benua Eropa, dapat dilihat dari perilaku para kapitalis pemilik modal dari belahan bumi mana saja yang ingin memiliki sebuah klub ataupun menginvestasikan modal yang mereka miliki kepada klub elite Eropa.

Misalnya pada tahun 2003 saat pebisnis minyak asal Rusia, Roman Abrahamovic membeli Chelsea dengan nilai 140 juta[3] ataupun ketika investor kaya asal Uni Emirat Arab, Sheikh Mansour mengambil alih kepemilikan atas Manchester City senilai 210 juta pada tahun 2008[4]. 

Perilaku kapitalistik juga dapat dilihat dari perilaku para media raksasa olahraga seperti ESPN atau Sky yang saling berebut untuk mendapatkan lisensi hak siar dari pertandingan di liga-liga besar, seperti Sky di Liga Inggris atau EPL senilai 4,46 miliar[5].

Tidak hanya dibanjiri oleh modal besar, kegiatan industri sepak bola saat ini juga dikomersialisasi untuk keuntungan pihak klub. Para klub menjual jersey pemain, merchandise, dan berbagai atribut lain, serta kontrak eksklusif dengan berbagai produk dan sponsor dengan nilai jutaan hingga miliaran.

Contoh saja salah satu klub elite di Liga Inggris, Arsenal, yang pada tahun 2018 lalu baru meneken kontrak shirt sponsorship berdurasi 6 tahun hingga 2024 dengan maskapai penerbangan asal UAE, Emirates bernilai 200 juta[6].

Perilaku di atas mencerminkan bagaimana sepak bola telah dimasuki oleh unsur-unsur kapitalisme modern. Adanya hal tersebut menggambarkan sepak bola kini telah berkembang menjadi industri dengan perputaran uang yang sangat besar dengan transaksi mencapai jutaan hingga miliaran poundsterling ataupun euro.

Akan tetapi, sebagai sebuah industri, produk apakah yang dihasilkan oleh sepak bola? Dan bagaimanakah industri tersebut bekerja saat ini ?

Bagaimana Industri Sepak Bola sebagai Kapitalis Saat Ini Bekerja?
Industri kapitalis pada umumnya didorong untuk memperluas jangkauan serta mengakumulasi dan mengelola modal yang diperoleh dari memproduksi suatu komoditas. Akan tetapi, bagaimanakah esensi tersebut sejalan dengan sepak bola, di mana komoditas akhir yang dihasilkan ini adalah sebuah pertandingan?

Seperti yang kita ketahui, industri kapitalisme didasarkan pada hubungan antara modal dan tenaga kerja, dan berupaya menghasilkan perluasan modal melalui nilai lebih yang dihasilkan dari produksi menggunakan tenaga kerja. 

Sederhananya, modal awal digunakan untuk mempekerjakan tenaga kerja dan membeli komoditas lain yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk atau komoditas akhir yang memiliki nilai lebih di atas seluruh modal awal yang dikeluarkan. Pada akhirnya, nilai tersebut dikonversi menjadi penjualan komoditas akhir yang telah dihasilkan dan hasil penjualannya akan dibagi-bagikan untuk upah tenaga kerja, biaya bunga, biaya pemasaran, sewa tanah/bangunan, dan tentunya laba produksi.

Dalam kasus sepak bola, komoditas akhir yang dihasilkannya adalah sebuah pertandingan, yang dapat dikomersialisasi dengan penjualan tiket. Namun, nilainya secara ekonomi tentu akan lebih rendah dibandingkan nilai dari tenaga kerja (yaitu pemain) serta komoditas lainnya (seperti stadion, perlengkapan permainan, perangkat pertandingan, serta unsur-unsur pertandingan sepak bola lainnya) yang dipakai untuk penyelenggaraan suatu pertandingan sepak bola. 

Akibatnya, tidak ada nilai lebih produksi dan oleh karena itu tidak akan ada keuntungan produksi sehingga biaya bunga, beban gaji dan biaya lainnya akan dibiayai dari utang dan pendapatan eksternal, yakni pendapatan yang diperoleh dari sektor industri lain.

Secara umum, ada tiga sumber pendapatan untuk sebuah klub sepak bola, di antaranya pendapatan untuk klub yang berasal dari pertandingan (termasuk penjualan tiket dan perhotelan milik klub), lisensi hak siar (termasuk distribusi dari partisipasi di liga dan piala domestik, serta kompetisi antarklub di tiap-tiap benua), dan sumber komersial (termasuk sponsor, penjualan merchandise dan operasi komersial lainnya)[7].

Dari ketiga celah pendapatan ini, terutama dari lisensi hak siar dan sumber komersial/sponsor, para pemodal dan sponsor masuk ke dalam klub sepak bola. Hasilnya, kini kita dapat melihat bagaimana kontrak dengan nominal yang fantastis terjadi di dunia sepak bola. Dengan cara-cara inilah, klub sepak bola modern menjalankan suatu industri kapitalis yang tentu saja berdampak kepada perkembangan sepak bola modern saat ini.

Dampak Kapitalisme terhadap Sepak Bola Modern
Dari hal-hal tersebut,kita telah mengetahui bahwa modal besar sudah merasuki industri sepak bola. Sepak bola modern telah terserang virus kapitalisme yang sangat akut, menyebabkan klub-klub elit  dengan mudahnya mengeluarkan uang yang sangat besar untuk memboyong pemain-pemain bertalenta yang mereka inginkan demi memenangkan berbagai piala serta memperkuat eksistensi sebagai sebuah entitas bisnis yang besar.

Salah satu contoh adalah klub kaya asal Prancis, yaitu Paris Saint Germain (PSG) yang mampu mendatangkan bintang-bintang muda seperti Neymar Jr. dan Kylian Mbapp dengan harga yang fantastis. Masing-masing dari mereka bernilai 222 juta dan 135 juta yang menjadikan keduanya sebagai pemain termahal pertama dan kedua di dunia saat ini [8].

Keadaan seperti ini merusak harga pasar dan menimbulkan inflasi yang tinggi di pasar pemain sepak bola [9]. Implikasi lain dari adanya kapitalisme yang sangat besar ini adalah terjadinya ketimpangan kualitas antar klub, Klub-klub elit akan terus sukses memenangkan setiap piala yang mereka ikuti sedangkan klub kecil hanya dapat bertengger di papan tengah hingga bawah klasemen di liga. 

Hal-hal tersebut secara tidak langsung akan menyebabkan kompetisi kurang kompetitif karena hampir selalu dimenangkan oleh klub yang memiliki modal yang besar, dan tentu akan mengurangi bahkan menghilangkan esensi dari sepak bola itu sendiri.

Adakah Solusi untuk Meredam Serangan Kapitalisme?
Salah satu solusi terhadap ketidakseimbangan tersebut diajukan Michel Platini, mantan presiden UEFA. Ia mencetuskan konsep Financial Fair Play (FFP) berdasarkan fakta bahwa lebih dari setengah klub di Eropa menderita kerugian akibat ketidakseimbangan neraca keuangan. Hal tersebut utamanya terjadi akibat pembelian pemain dengan nominal besar menggunakan utang yang tidak dibarengi oleh penjualan pemain dengan nominal yang relatif serupa, sehingga hal tersebut dinilai UEFA membahayakan bagi finansial klub.

Aturan FFP membatasi setiap klub yang berada di bawah UEFA (Asosiasi Sepak bola Eropa) dalam menggunakan uang yang dimilikinya dengan memberi batas kerugian minimum dalam nominal tertentu yang harus dipenuhi setiap klub dalam aktivitas jual beli pemain, termasuk pembayaran gaji dalam kurun waktu satu musim kompetisi. Apabila melanggar, sanksi berat dari UEFA telah menunggu, dari denda dan pengurangan poin sampai larangan bermain pada kompetisi UEFA seperti Liga Champions dan Liga Europa.

Pada dasarnya, aturan ini dibuat untuk memastikan setiap klub yang ingin membeli pemain dalam jumlah banyak ataupun membeli pemain mahal agar benar-benar mampu secara keuangan, sehingga tidak terjerat hutang dalam jumlah besar yang dapat membebani finansial klub itu sendiri.

Tujuan lainnya adalah membatasi setiap klub, terutama klub elit dan kaya raya, untuk tidak dengan mudah menggelontorkan dana yang banyak dalam anggaran belanja yang tak terbatas untuk membeli pemain, sehingga dapat menciptakan ketimpangan kualitas klub yang membuat kompetisi kurang kompetitif. Hal ini tentu sejalan dengan keinginan untuk meredam arus kapitalisme yang ada di dunia sepak bola.

Namun begitu, berbagai klub elit tetap saja berusaha dengan berbagai cara agar dapat memanipulasi laporan finansialnya kepada UEFA untuk dapat berbelanja pemain dengan dana lebih. Salah satu contohnya yaitu Manchester City, yang diketahui melakukan praktik kecurangan dengan mengakui kesepakatan sponsor dengan Etihad Airways [10]. 

Kesepakatan tersebut belakangan ini diketahui hanya merupakan dalih untuk menutupi pemberian dana pribadi dari pemilik The Citizens yaitu Sheikh Mansour yang memiliki relasi yang kuat dengan Etihad. Uang tersebut diduga digunakan untuk memuluskan transfer Riyad Mahrez dari Leicester City musim lalu.

Kasus di atas memaparkan bahwa pada kenyataannya klub elit sepak bola dapat melakukan berbagai cara agar dapat melakukan aktivitas transfer sesuai dengan keinginan mereka. Apabila hal tersebut terjadi secara berkepanjangan, potensi ketimpangan kualitas antar klub makin besar dan makin sulit bagi kita untuk dapat meredam kapitalisme yang berlebihan ini di dunia sepak bola saat ini.

Mungkin kapitalisme tidak dapat dihilangkan sepenuhnya dari dunia sepak bola karena telah menjadi bagian dari sepak bola itu sendiri. Akan tetapi,kapitalisme yang berlebihan dan merugikan banyak pihak (termasuk penikmat sepak bola) dapat diredam dengan melakukan pembinaan pemain akademi bagi klub sepak bola. 

Selain itu, solusi yang dapat diambil oleh para regulator kompetisi adalah dengan memperketat pengawasan terhadap keuangan klub, menyelidiki adanya indikasi dari klub untuk melakukan praktik kecurangan, serta memberikan hukuman yang sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh setiap klub. Maka dengan demikian, arus kapitalisme di dunia sepak bola akan dapat diredam dan semangat kompetisi dalam nyawa permainan sepak bola akan tetap terjaga.

"In everything we do, football must always be the first and most important element that we take into consideration. Football is a game before being a product, a sport before being a market, a show before being a business"  -'Eleven Values' of UEFA[11]

Oleh M Fajar Ramadhan | Ilmu Ekonomi 2018 | Staff Kajian Kanopi FEB UI 2019

Referensi:

  • Kennedy, P. (2012). The Football Industry and the Capitalist Political Economy: A Square Peg in a Round Hole?. Critique, 40(1), pp.73-94.

  • ener, . and Karapolatgil, A. (2015). Rules of the Game: Strategy in Football Industry. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 207, pp.10-19.

  • Www2.deloitte.com. (2019). [online] Available at: 1.

  • Uefa.com. (2019). [online] Available at: 2.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun