Mohon tunggu...
SATRIA KUSUMA DIYUDA
SATRIA KUSUMA DIYUDA Mohon Tunggu... ya begitu deh...

Menulis di waktu senggang saja...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kaum Bangsawan dan Borjuis, Bersatulah!. Revolusi Sudah Dekat!!!

3 Agustus 2025   16:57 Diperbarui: 3 Agustus 2025   16:58 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dibuat dengan menggunakan Chat GPT

Pendahuluan

Revolusi bukan hanya pergantian rezim penguasa melalui pergolakan rakyat yang terjadi secara cepat. Revolusi kadang disertai dengan konflik bersenjata antara pihak-pihak yang mempertahankan status quo dan pihak-pihak yang ingin melakukan perubahan secara menyeluruh. Dalam sejarah modern, revolusi dimulai dari Revolusi Amerika, ketika rakyat Amerika Serikat berusaha melepaskan diri dari Kerajaan Inggris karena ketidakadilan yang terjadi di wilayah koloni. Setelah itu bergeser ke Revolusi Prancis yang menggulingkan kekuasaan Louis XVI dari Dinasti Bourbon. Pada abad ke-20, Rusia pun mengalami pergolakan revolusioner setelah kalah dalam Perang Dunia I melawan Jerman dan menggulingkan Dinasti Romanov yang telah berkuasa sejak abad ke-17.

Para pemikir klasik dan modern telah lama mengidentifikasi faktor-faktor penyebab perlawanan rakyat terhadap rezim berkuasa. Menurut Karl Marx, yang pemikirannya menjadi dasar Revolusi Bolshevik di Rusia, revolusi terjadi karena ketimpangan sosial antar kelas. Para pemilik modal yang menguasai faktor-faktor produksi memperoleh nilai surplus, sementara kelas pekerja yang tidak menguasai faktor produksi tidak menikmati hasil dari produk yang mereka ciptakan. Menurut Marx, ketimpangan ini tidak akan hilang dengan reformasi kecil, tetapi hanya bisa dihapus melalui revolusi yang menggulingkan sistem kapitalisme dan menciptakan masyarakat tanpa kelas.

Menurut Chalmers Johnson, melalui teori ketegangan struktural, revolusi terjadi karena ketidaksesuaian dalam struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Ketika ketegangan tersebut tidak dapat diselesaikan oleh institusi yang ada, krisis akan meledak menjadi revolusi. Teori ini menekankan bahwa revolusi bukan hanya akibat ketimpangan ekonomi, tetapi juga karena struktur sosial-politik tidak mampu lagi menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi atau tuntutan masyarakat.

Lebih lanjut, Johnson mengamati tiga unsur utama penyebab revolusi. Pertama, ketidaksesuaian struktural, di mana struktur politik, ekonomi, dan sosial sudah tidak sejalan dengan nilai-nilai atau aspirasi masyarakat. Contohnya adalah ketika sistem feodal atau monopoli kapital tetap berkuasa sementara rakyat menuntut sistem yang lebih terbuka dan adil.

Faktor kedua adalah ketidakmampuan sistem menyerap ketegangan. Lembaga negara tidak mampu merespons perubahan yang terjadi di tengah masyarakat atau menyerap tuntutan rakyat. Ketika saluran aspirasi tertutup, ketegangan sosial akan meningkat. Situasi ini dapat dirasakan juga saat ini, ketika lembaga negara dan partai politik tidak lagi mewakili aspirasi rakyat.

Faktor ketiga adalah munculnya gerakan alternatif sebagai respons atas kegagalan rezim menyerap aspirasi rakyat. Faktor ini juga melahirkan tokoh-tokoh baru yang menjadi simbol perlawanan terhadap penguasa.

Revolusi Amerika

Revolusi Amerika bukan merupakan pergolakan antara kelas miskin dan kelas atas, melainkan konflik antara penduduk kolonial Inggris yang ingin memperluas kepemilikan lahan, dan kerajaan yang membatasi mereka. Konflik ini muncul saat Kerajaan Inggris menerapkan pajak Stamp Act (1765) dan Tea Act (1773) untuk menutupi biaya Perang Tujuh Tahun melawan Prancis. Kebijakan ini membuat penduduk koloni merasa dijadikan sapi perah. Faktor lainnya adalah larangan ekspansi tanah ke wilayah suku Indian di barat Amerika melalui Proclamation Act, yang membuat penduduk koloni merasa dibatasi.

Perlawanan membesar ketika pasukan Inggris menembak mati lima warga Boston yang memprotes kebijakan kerajaan. Kejadian ini memicu kemunculan isu kemerdekaan. Tokoh-tokoh nasionalis Amerika mulai terinspirasi oleh pemikiran John Locke yang menegaskan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat, bukan raja. Gerakan rakyat mulai melakukan boikot, sabotase, bahkan aksi kekerasan terhadap simbol-simbol kekuasaan Inggris di koloni.

Revolusi Prancis (1789--1799)

Setelah Perang Tujuh Tahun yang berakhir dengan kekalahan Prancis, kerajaan mengalami krisis ekonomi yang membebani rakyat. Struktur sosial Prancis terbagi tiga kelas: kelas pertama (pendeta) yang kaya dan bebas pajak, kelas kedua (bangsawan) yang memiliki tanah dan hak istimewa, serta kelas ketiga (petani, buruh, pedagang) yang menanggung pajak dan kerja paksa.

Kekalahan Prancis membawa utang besar, yang memicu kenaikan pajak dan harga pangan, terutama roti. Kelaparan dan keresahan sosial meluas. Beberapa tokoh seperti Jacques Necker mencoba mereformasi pajak agar bangsawan ikut membayar, tetapi usulan itu ditolak elite. Saat Louis XVI memanggil Estates-General (Mei 1789), rakyat (Etat III) justru dipinggirkan. Mereka lalu membentuk Majelis Nasional sebagai wakil sah rakyat. Ini menjadi awal revolusi secara politik.

Perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan kerajaan juga terinspirasi Revolusi Amerika. Pemikir seperti Rousseau, Montesquieu, dan Voltaire turut menyemangati rakyat. Akhirnya, kemarahan rakyat meledak karena krisis, pajak berat, dan sistem sosial yang menindas. Revolusi dimulai dengan penyerangan penjara Bastille (1789) dan proklamasi Republik Prancis Pertama.

Revolusi Rusia

Revolusi Rusia terjadi di era pasca-Revolusi Industri pada awal abad ke-20. Meski Revolusi Industri diyakini bisa mengurangi kelaparan melalui mekanisasi dan produksi pangan, kenyataannya tidak demikian di Rusia. Negara ini masih terjebak dalam sistem feodal yang kuat, dengan bangsawan menguasai kehidupan politik dan ekonomi. Mayoritas rakyat Rusia, baik petani maupun buruh, hidup dalam kemiskinan struktural dan sulit memperbaiki kondisi mereka secara turun-temurun.

Jam kerja buruh di kota sangat panjang dan brutal, dengan upah minim dan tanpa jaminan sosial. Hal ini mendorong terbentuknya organisasi buruh dan perlawanan kecil terhadap para pemilik pabrik. Revolusi dimulai pada peristiwa Bloody Sunday, 22 Januari 1905, saat sekitar 100.000 orang dipimpin pendeta Georgy Gapon melakukan aksi damai di St. Petersburg untuk menuntut perbaikan kondisi kerja, upah adil, dan pembentukan majelis rakyat. Namun, aksi ini dibalas tembakan oleh pasukan kerajaan, menewaskan sekitar 200 orang. Peristiwa ini memicu protes besar dan memaksa kerajaan membentuk Duma sebagai jalan tengah.

Revolusi 1917

Setelah menyerah kepada Jerman dalam Perang Dunia I, Rusia mengalami krisis ekonomi dan kelaparan yang parah. Buruh, tentara, dan rakyat kembali turun ke jalan. Sejak Bloody Sunday, Tsar Nicholas II kehilangan legitimasi di mata rakyat. Aksi massa kali ini lebih keras, dan terbentuk dua kubu besar: kaum Revolusi Putih yang dipimpin Laksamana Kolchak, dan Revolusi Merah di bawah Vladimir Lenin. Tsar berhasil ditumbangkan, dan pemerintahan sementara dibentuk, namun gagal mengeluarkan Rusia dari perang dan mereformasi pertanian.

Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Lenin dan kaum Bolshevik, yang menawarkan rakyat slogan "Roti, Tanah, dan Perdamaian". Tawaran ini mendapat dukungan luas dan berhasil menggulingkan pemerintahan sementara. Hal ini memicu Perang Saudara Rusia antara kaum Merah dan Putih.

Perbedaan dan Persamaan Gerakan Revolusi

Ketiga revolusi di Amerika, Prancis, dan Rusia sekilas tampak serupa sebagai gerakan rakyat melawan status quo. Namun, Revolusi Amerika lebih bersifat perjuangan koloni untuk kemerdekaan dan perluasan penguasaan sumber daya, terutama tanah. Mereka ingin memperluas wilayah koloni yang dibatasi oleh kebijakan Inggris.

Revolusi Prancis dan Rusia memiliki kesamaan dalam hal ketidakadilan sosial, penindasan terhadap rakyat, dan ancaman kelaparan. Ketiganya juga memiliki pola yang sama: pengenaan pajak berat di tengah krisis keuangan negara, tanpa transparansi dan keadilan dalam penggunaannya.

Dampak revolusi adalah perubahan struktural dari sistem monarki ke republik, memberi rakyat akses politik dan ekonomi. Namun, hasil jangka panjangnya tidak selalu stabil. Revolusi Prancis dibajak oleh Napoleon yang mengangkat diri sebagai kaisar, sementara cita-cita Lenin di Rusia tergantikan oleh kediktatoran Stalin. Meski demikian, revolusi tetap menjadi bukti bahwa kekuasaan absolut dapat dijungkirbalikkan oleh kehendak rakyat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun