Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menjelajah Bukit Cula, Menyusuri Jejak Dipati Ukur

30 Agustus 2020   16:51 Diperbarui: 30 Agustus 2020   17:50 2051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yusupsapaat.blogspot.com

Bagi penggemar wisata pagi di wilayah Bandung Raya, dibandingkan dengan Puncrut, Bukit Cula tidak ada apa-apanya dalam kepopuleran. Pesona keindahan alam Puncrut yang berada di Kawasan Bandung Utara menjadi daya tarik utama. Akhir pekan dan saat hari libur menjadi waktu pavorit warga masyarakat untuk menikmati Puncrut di pagi hari.

Sementara itu Bukit Cula yang terletak di selatan Kota Bandung hanyalah sebuah gunung kecil yang berada di Kecamatan Ciparay dan Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung. Karena dianggap kecil itulah maka orang mengira salah satu desa yang melingkupi Bukit Cula dinamakan Desa Gunungleutik. Leutik adalah basa Sunda yang berarti kecil. Kini setelah desa itu dimekarkan menjadi 2 desa yaitu Gunungleutik dan Pakutandang, hanya situs Bukit Cula yang menjadi bagian dari Desa Gunungleutik, wilayahnya tidak lagi bersentuhan secara langsung dengan Bukit Cula. Menurut ahli sejarah, nama gunungleutik sebenarnya berasal dari “imah leutik” (rumah kecil) tempat kediaman Dipati Ukur yang disamarkan menjadi “gunungleutik”.

Bagi warga asli yang tinggal di sekitar gunung itu, kami lebih sering menyebutnya dengan bakiculah. Sebutan yang lebih familier di telinga daripada bukit cula. Sementara itu penduduk yang bertani di gunung itu lebih sering menyebutnya dengan kata “pasir”. Pasir adalah basa Sunda yang berarti “bukit”. Sedangkan pasir dalam konteks bahan bangunan, dalam basa Sunda adalah “keusik”.

Bagi saya Bakiculah atau Bukit Cula bukanlah tempat yang asing. Sejak kecil saya sudah akrab dengan gunung itu. Oleh karenanya saya cukup mengenal dengan baik gunung itu. Masa SMA sampai mahasiswa adalah masa dimana saya dan beberapa sahabat begitu mengakrabi keberadaan Bukit Cula.

Banyak rute yang bisa ditempuh dalam pendakian Bukit Cula. Secara geografis Bukit Cula merupakan bagian dari 4 wilayah desa, yaitu Desa Bumiwangi, Desa Pakutandang dan Desa Babakan di Kecamatan Ciparay serta Desa Rancakole di Kecamatan Arjasari. Salah satu rute yang paling banyak digunakan adalah via Kampung Calengka di Desa Bumiwangi Kecamatan Ciparay.

Bagi yang berasal dari luar kota untuk sampai di Calengka tidaklah sulit. Bagi yang dari arah Kota Bandung, kendaraan umum yang paling nyaman untuk digunakan adalah “Bis Trans Bandung Raya” trayek Terminal Leuwipanjang – Majalaya. Dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai di Alun-alun Ciparay. Selain Trans Bandung Raya, kita juga bisa memanfaatkan kendaraan umum lain yaitu Bis dan Elf dari Kebon Kalapa dan Angkot dari Terminal Tegallega.

Turun dari kendaraan umum di alun-alun Ciparay, tanpa menyebrang jalan bisa langsung masuk ke Pasar Ciparay untuk menyantap sarapan pagi “Lontong Tahu Barjah”. Kedai legendaris ini letaknya di bagian depan dari kios-kios di pasar itu. Belum dikatakan ke Ciparay kalau belum menyantap Lontong Tahu Barjah.

Dari Alun-alun Ciparay menuju Calengka bisa naik ojeg dengan tarif Rp. 10.000. Saya lebih menyarankan jalan kaki menyusuri Sungai Cirasea sampai ke Watervang yang dibangun tahun 1929. Dari situ menyebrangi saluran sekunder irigasi naik melewati Warung Makan Saung Gawir yang letaknya di belakang ”Situs Culanagara”. Ini berarti anda sudah sampai di Calengka. Jika berjalan santai dibutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai di tempat ini. Bagi yang membawa kendaraan sendiri baik roda dua maupun roda empat bisa langsung menuju Calengka, jalan mulus akan menyambut kita.

Situs Culanagara merupakan situs yang berkaitan dengan jejak perjalanan Dipati Ukur dalam pelariannya ketika diburu oleh Pasukan Mataram karena dianggap mbalelo terhadap perintah Sultan Mataram sehingga dicap sebagai pengkhianat.

Mengutif Lasmiyati “Dipati Ukur Dan Jejak Peninggalannya di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung (1627-1633)”, Dipati Ukur menjadi Adipati di Tatar Ukur dan menjabat sebagai Bupati Wedana Priangan (1623-1633) mengalami nasib malang. Ia dicopot sebagai Bupati Wedana dan hidup berpindah-pindah setelah berselisih dengan Mataram. Di daerah Ciparay inilah Dipati Ukur menyamar sebagai rakyat biasa dengan melucuti pakaian kebesaran kadaleman. Pada salah satu aksesoris pakaian kebesarannya terselip sebuah benda pusaka berupa “duhung” atau keris yang bernama Culanagara yang hingga saat ini dijadikan benda peninggalan Dipati Ukur.

Komunitasaleut.com
Komunitasaleut.com
Setelah puas mengamati Situs Culanagara, maka perjalanan dilanjutkan masuk ke Bukit Cula yang sebenarnya. Sekitar 10 menit dengan medan yang relatif bersahabat, kita sampai di “Patilasan Eyang Sakti”.  Bentuknya hanya berupa gubuk kecil di sebuah komplek pemakaman yang berada di tengah-tengah kebun palawija. Menurut Kuncen yang pernah saya temui, Eyang Sakti adalah panggilan untuk Prabu Siliwangi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun