Mohon tunggu...
Silahudin Din
Silahudin Din Mohon Tunggu... Dosen - Berbagi info, menuai setetes pengetahuan

Berbagi info, menuai setetes pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anomali Politik Kekuasaan

18 November 2013   07:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:01 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : SILAHUDIN

BERJUANG untuk memperoleh kekuasaan (the struggle of power), dapat dipahami sebagai “sesuatu” yang niscaya eksis dalam pergumulan kehidupan (politik) selama ini. Persoalannya, kekuasaan itu bagaimana diperolehnya? Dan untuk apa kekuasaan itu didapat? Sejatinya kekuasaan itu didapat untuk disandarkan atau ditempatkan bagi kepentingan kemaslahatan rakyat banyak, bukan sebaliknya, hanya diperuntukkan bagi dirinya dan kelomponya.

Dalam bahasa lain, politik itu adalah semangat merajut dan sekaligus mengaktualisasikan nilai-nilai mulia politik. Oleh karena itu, politik tanpa prinsip merupakan ancaman yang mematikan bagi kemasalahan dan keselamatan umat manusia.

Kedudukan dan penggunanaan kekuasaan dimanapun ruang lingkupnya, adalah menyangkut kepentingan orang banyak. Proses politik melalui serentetan fenomena dan peristiwanya pada dasarnya bertali temali dengan kekuasaan. Kekuasaan tersebut didapat membutuhkan perjuangan, seperti salah satunya “mengiklankan” dirinya, agar masyarakat pemilih menentukan pilihan pada dirinya saat pemilihan (legislatif dan eksekutif).

Memang, persoalann riil praktek politik masih jauh dari harapan rakyat. Nilai-nilai luhur politik direduksi oleh kepentingan yang sempit. Kepentingan kelompok atau golongan, acapkali mendominasi percaturan kehidupan politik Indonesia (entah itu di level nasional maupun daerah).

Harus diakui, bahkan mungkin bikin merah telinga bagi mareka para pencari kekuasaan yang mendapat cibiran dari publik, ”Sekarang mereka butuh kita, besok-besok kalau sudah jadi, menjadi tradisi melupakan kita.” Dalam bahasa lain, sesungguhnya hati rakyat sudah lama kesal menyaksikan tingkah polah mereka para elit penguasa (entah di parlemen maupun di eksekutif dan yudikatif) yang senantiasa mengecewakan.

Rakyat apatis dan pasif bahkan pesimis terhadap itu semua. Ini bukan tanpa alasan, karena muak terhadap perilaku politik yang justru bergulat hanya memperjuangkan kepentingannya selama ini, sementara tidak ada ketulusan dalam merubah keadaan hidup masyarakat. Rakyat ”disandera” oleh kepentingan elit-elit politik, sehingga kepercayaan rakyat pun sedang berada dalam titik nadir terhadap mereka elit penguasa. Rakyat dininabobokan oleh jargon-jargon yang tidak membumi bagi kepentingan bersama.

Halo pencari kekuasaan. Kalian sibuk memohon do’a restu, dan dukungan terhadap rakyat, namun sadarkah apa yang telah anda perbuat untuk rakyat (?) Sungguh ironis, pada saat-saat pemilu, mengemis-ngemis mohon bantuan dan dukungannya, karena tanpa rakyat pemilih anda tidak menjadi apa-apa, atau tidak berarti apa-apa.

Pemilu (Legislatif, dan eksekutif), sebagai momen mencari dan berjuang untuk kekuasaan dalam pergantian pemerintahan. Akan tetapi, sayang pemilu hanya baru sebatas memfasilitasi pergulatan dan perjuangan pencari kekuasaan semata, dan ”menyandera” atau ”memperkosa” hak-hak kepentingan rakyat banyak (bonnum commune). Setelah pemilu usai, kepentingan rakyat dilupakan. Padalah, merajut demokrasi politik yang substantif bagi kepentingan rakyat, mestinya berbanding lurus (simetris) dengan pemilu itu sendiri. Rakyat yang memiliki kedaulatan dan penyangga keberlangsungan negara bangsa ini mestinya bertahta dalam kehidupannya.

Centang perenang itu, acapkali terulang, dan terulang dalam setiap pemilu apapun, sedangkan fungsionalisasi pemilu yang niscaya diaktualisasikan dalam perbaikan hidup rakyat masih jauh dari harapannya.

Kesenjangan atau ketimpangan yang sangat memprihatinkan, antara demokrasi prosedural pemilu sebagai ajang perebutan kekuasaan para elit politik dengan demokrasi substantif dari makna pemilu itu, agar fungsional merenda politik kemakmuran bagi rakyat. Mereka elit yang sejatinya berada pada bagian terbesar rakyat, justru selama ini dirasakan mengecewakan dari pemilu ke pemilu (bahkan seorang teman sempat menyatakan bahwa pemilu itu  penipuan kolektif parpol).

Realitas sekarang ini, rakyat sudah semakin apatis dan pasif terhadap proses politik yang tidak juga membawa arah perubahan kehidupan dalam segala bidang membaik. Kesadaran substantif, bahwa semua lapisan kekuatan sosial politik negara bangsa, dan mereka para pencari kekuasaan (parlemen atau eksekutif) untuk merekonstruksi “laboratorium” pemilu, bukan sekadar ekspresimen yang tanpa bermakna dan tidak fungsional, justru harus sebaliknya, laboratorium itu, menjadi “paten” perbaikan hidup bersama dengan keikhlasan dan keinsyafan membongkar parasit-parasit yang “memenjarakan” perbaikan kehidupan bersama.

Transaksi-transaksi politik demi kekuasaan, mestinya dihentikan. Begitupun pemilih tidak “menggadekan” suaranya hanya diiming-imingi materi (misalnya money politic diperhalus menjadi “pengganti ongkos ke TPS”, dan bentuk lainnya), yang berakibat fatal paling tidak selama lima tahun. Bila transaksi seperti itu yang terjadi, sesungguhnya masuk akal kalau mereka para pencari kekuasaan, dan mendapatkannya, setidaknya ada pemikiran (kendati keliru) mengembalikan “modal utamanya” terlebih dahulu. Kemudian,  perceraian  pencari      kekuasaan ( elit politik) dengan rakyat tidak dapat diingkari, ia lupa terhadap segala janjinya. Oleh karena itu, dalam keadaan apapun, etos pemilih tidak menjadi pengemis yang hina, namun justru menjadi pemilih yang bermartabat yang secara terus menerus mengingatkan terhadaap mereka elit penguasa untuk merealisasikan janji-janjinya.

sumber: dimuat di Galamedia, 31 Oktober 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun