Kamis, 25 September 2025
Hari ini, langit Denpasar menangis. Hujan turun tak henti, seolah ingin mencurahkan semua kesedihan yang ada. Tak butuh waktu lama, air mulai merangkak naik, menenggelamkan jalanan dan harapan.
Saya bergegas ke Pasar Sukawati. Pemandangan di sana memilukan. Pedagang berusaha menyelamatkan barang dagangan, tapi air lebih cepat. Di tengah kepanikan itu, saya melihat Ibu Nyoman Sumiarsih (55), seorang pedagang sayur. Matanya menatap genangan air, seolah kehilangan semua kekuatan.
"Air datang secepat kilat," katanya, suaranya terdengar lelah. "Semua sayuran saya terendam. Kerugian ini sungguh menyakitkan."
Belum sempat kami menghela napas, bumi tiba-tiba ikut menangis. Gempa mengguncang, membuat semua orang menjerit. Getarannya terasa hingga ke hati. Ibu Nyoman memeluk tiang lapaknya, air mata mulai jatuh dari matanya yang lelah.
"Ini yang paling saya takuti," bisiknya setelah guncangan mereda. "Sudah banjir, sekarang gempa. Rasanya seperti kami harus menanggung semua cobaan ini sendiri."
Kisah Ibu Nyoman adalah kisah banyak orang di Denpasar hari ini. Kota ini sering diuji, tapi warganya selalu menemukan cara untuk bangkit. Mereka saling membantu, saling menguatkan, bahkan di tengah musibah. Peristiwa ini bukan hanya tentang bencana, tapi juga tentang ketahanan jiwa manusia yang tak pernah menyerah.
2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI