Malam itu, angin berembus dingin, menggulirkan daun-daun kering di halaman depan rumah Lisianawati. Gadis kecil kelas 5C itu sedang asyik membaca buku dongeng di kamarnya, ditemani cahaya lampu tidur yang temaram. Ayah dan ibunya sudah tidur, membuat suasana rumah terasa hening, hanya ada suara jangkrik di luar.
Tiba-tiba, Lisianawati mendengar suara lirih dari arah dapur. Suara itu seperti desisan pelan, namun tidak seperti desisan ular. Lebih mirip bisikan, tapi sangat tipis. Ia mengabaikannya, menganggap itu hanya imajinasinya. Namun, suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas, seperti nama seseorang yang dipanggil.
"Lisi... "
Jantung Lisianawati berdetak lebih cepat. Suara itu memanggilnya. Ia turun dari tempat tidur, memberanikan diri menuju pintu kamar. Ia mengintip ke celah pintu, tetapi tidak ada siapa-siapa di lorong yang gelap. Lampu ruang tamu mati, hanya ada cahaya bulan yang masuk dari jendela.
"Lisi... " Suara itu kembali terdengar, kali ini terdengar dari arah loteng.
Lisianawati menggelengkan kepala, mencoba meyakinkan diri bahwa ia salah dengar. Ia kembali ke tempat tidur, mencoba melanjutkan membaca. Namun, ia tidak bisa fokus. Hawa dingin merayap dari kakinya, naik ke seluruh tubuhnya. Seketika, buku dongeng di tangannya terjatuh. Ia menatap ke arah pintu dan melihat bayangan seseorang yang berdiri di ambang pintu, menghalangi cahaya bulan.
Bayangan itu adalah seorang gadis, seumuran dengannya, dengan rambut panjang dan gaun putih kusam. Wajahnya pucat, dengan mata kosong yang menatap tepat ke arahnya. Bibirnya terbuka, mengeluarkan suara yang memanggil namanya.
"Lisi... ayo main... "
Lisianawati menjerit, tapi tidak ada suara yang keluar. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia mencoba lari, tetapi tubuhnya membeku di tempat. Bayangan itu perlahan-lahan melangkah masuk ke dalam kamar, tangannya terulur ke arahnya. Jari-jari pucat itu memanjang, mencoba meraihnya.
Lisianawati memejamkan mata, air matanya mengalir. Ia tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menunggu, pasrah. Tiba-tiba, ia mendengar suara ibunya dari luar kamar.
"Lisi, kamu kenapa, Nak?"
Lisianawati membuka matanya. Bayangan itu sudah tidak ada. Lampu kamar menyala, dan ibunya berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan khawatir. Lisianawati tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa menunjuk ke arah tempat bayangan itu berdiri.
Ibu Lisianawati mengusap kepalanya, menenangkannya. Ia mengatakan bahwa Lisianawati hanya mimpi buruk. Namun, Lisianawati tahu, itu bukan mimpi. Ia bisa merasakan sisa dinginnya hawa yang dibawa bayangan itu. Ia tahu, bayangan itu akan kembali.
Sejak malam itu, Lisianawati tidak pernah bisa tidur tenang. Setiap malam, ia mendengar suara lirih yang memanggil namanya, dan setiap malam, ia melihat bayangan gadis itu berdiri di luar jendela kamarnya, dengan wajah pucat dan mata kosong, menunggu untuk mengajaknya bermain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI