Mohon tunggu...
Kang Semproel
Kang Semproel Mohon Tunggu... Sales - An Ordinary man with Ordinary Life

Tukang angkat koper di Dubai, Baghdad, dan Aprika

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masihkah Kita Akan Salah Memilih Lagi

7 April 2014   18:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:58 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

H-2 menuju hari pemilihan umum kali ini tentunya disikapi berbeda oleh para pelaku sejarah di negeri ini. Bagi sebagian orang yang menjadi bagian aktif atau mungkin kita sebut saja sebagai “Subyek”dari “pesta demokrasi” ini , besok adalah hari pembuktian mengenai efektifitas usaha-usaha mereka belakangan ini dalam “menjual dan mempromosikan diri” mereka lewat berbagai media. Bagi mereka yang berkocek tebal, koran dan televisi adalah pilihan terbaik untuk menunjukkan eksistensi mereka serta menunjukkan bagaimana mereka “peduli”pada rakyat kecil. Memeluk, makan, menangis dan tertawa bersama kalangan bawah jadi cara yang dianggap terbaik untuk mengambil hati rakyat kecil.

Adapun bagi mereka yang berkantung “agak” tebal, maka angkot, baliho dan terkadang bungkusan sembako bisa menjadi media mempromosikan diri mereka kepada para “potential buyer”. Sedangkan buat mereka yang bujet untuk nyalon nya hanya pas-pasan, maka pepohonan, tiang, bahkan terkadang tembok rumah orang (tentunya tanpa ijin atau permisi sang pemilik) menjadi pilihan yang tersisa buat mereka menunjukan eksistensi serta niat mereka menjadi “wakil” rakyat 5 tahun ke depan.

Jika para calon tadi menjadi subyek, maka otomatis rakyat pemilih lah yang menjadi obyek. Suara merekalah yang sangat diharapkan oleh para calon tadi. Para calon yang tergabung dalam partai politik tsb secara lantang menyampaikan ajakan untuk mencoblos partai mereka , wabil khusus mencoblos mereka. Berbagai slogan diteriakkan oleh mereka mulai dengan klaim sebagai rumahnya para wong cilik, hingga klaim sebagai pembawa suara perubahan. Tak lupa diembel-embeli sebagai terdepan dalam pemberantasan korupsi, pendidikan dan kesehatan gratis, sembako murah maupun program lainnya yang seolah pasti akan mereka laksanakan jika terpilih.

Sekarang pilihan kembali kepada sang pemilih, yaitu RAKYAT. Apakah mereka masih bisa terlena oleh janji-janji kosong dan angin surga yang selalu dihembuskan setiap 5 tahun ? Sudah saatnya kita-kita yang melek politik dan melek intelektual memberi penyadaran dan pencerahan kepada mereka-mereka yang awam tsb bagaimana nasib bangsa ini ke depannya ditentukan pada 2 hari yang akan datang. Masihkah kita akan percayakan bangsa dan negeri ini kepada para bedebah berdasi yang bicara moral, integritas, dan kerakyatan di tataran wacana tanpa implementasi dan aplikasi pada diri mereka sendiri ?

Tugas kita semua untuk memberi penyadaran pada semua bagian dari rakyat negeri ini bahwa saatnya menggunakan akal sehat dan hati nurani dilandasi keimanan dan ketaqwaan disokong dengan integritas yang tinggi dalam menentukan pilihan terbaik bagi bangsa ini. Dengan akal sehat kita bisa membedakan apakah yang mengklaim milik wong cilik benar-2 pro wong cilik ataukah hanya pro kepentingan para cukong dan kepentingan negeri asing. Dengan hati nurani kita bisa membedakan mana pemimpin yang benar-benar sayang pada bangsa dan rakyat atau hanya lip service sesaat dimasa kampanye ini. Dengan iman dan ketaqwaan kita bisa menyandarkan pilihan kita pada dalil nash Qur’an, al hadits, maupun ijma ulama. Dan dengan integritas tinggilah kita bisa membentengi diri kita dari godaan “serangan fajar” yang nilainya tak seberapa jika dibandingkan kerusakan yang harus ditanggung anak cucu kita kelak.

Semoga kesalahan sejarah di masa pemilu 1998, 2004, dan 2009 tidak terulang lagi. Saat dimana kita salah memilih pemimpin bangsa ini bisa. Kita terpukau akan hadirnya partai baru, sebagian diisi dengan wajah baru memang,namun isinya tetap mereka-mereka yang merupakan bagian dari sejarah kelam di masa orde baru. Wajah lama jaket partai baru. Tahun 1998 dan 2004 adalah saat mayoritas  kita memilih partai dengan melihat sang tokoh central yang dipersepsikan sebagai pihak yang “terzolimi” sehingga kita menggantungkan harapan pada mereka tanpa melihat kapabilitas dan kualitas apalagi integritas dari para calon yang ada. Ataupun tahun 2009 saat kesantunan tokoh kunci dijadikan model dan alasan untuk memilih.

Di tengah gempuran informasi dari media, potensi salah pilih tampaknya cukup terbuka luas. Kita bisa melihat bagaimana media secara sistematis mengangkat beberapa tokoh yang memang diharapkan harus jadi seraya melakukan penghancuran karakter dari tokoh/partai yang memang tidak diharapkan tumbuh dan berkembang. Tokoh yang di-"protagoniskan" akan diberitakan setiap langkahnya, setiap gerak dan tarikan nafasnya tanpa melihat urgensi dan fungsi pemberitaan tsb. Sementara partai/tokoh yang dihancurkan akan dibuka semua privasinya tanpa melihat korelasi hal tsb dengan program partainya. Dan saat ini social media sedang menjadi  "arena"  adu dukungan (kalau bukan dikatakan perang) antara pendukung para partai/tokoh tsb. Diperlukan kearifan semua pihak untuk sadar bahwa perang dukungan ini adalah hal biasa dalam berdemokrasi, selama hal-hal tsb tidak diseret ke arah penghinaan, dan penistaan terhadap agama, suku maupun antar golongan.

Untuk itu akhirnya kepada para pembaca sekalian, saya ucapkan : SELAMAT MENENTUKAN PILIHAN. JANGAN LUPA, NASIB BANGSA, DAN ANAK CUCU KITA KELAK TERGANTUNG PILHAN ANDA.Untuk saya pribadi saya Cuma bisa bilang#AkuOra MilihRapopo

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun