Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... profesional -

Lahir di Pekalongan, 28 Agustus 1980. Seorang pria biasa saja. Hanya seorang 'TOEKANG KEBOEN'.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menghayati Makna "Sukses!"

13 Januari 2015   06:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:16 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hari itu (Sabtu, 3 Januari 2015) saya dan keluarga sengaja menyempatkan diri jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan yang cukup besar di kota. Bukan untuk berbelanja, tetapi sekadar penyegaran. Bhumi, anak barep (bungsu) kami, sebenarnya yang punya hajat. Ia ingin sekali bermain di arena permainan yang disediakan di pusat perbelanjaan itu. Sudah lama ia tidak jalan-jalan, rengeknya. Tetapi, bukan berarti keputusan kami untuk sekadar cuci mata di pusat perbelanjaan itu karena rengekan Bhumi, melainkan kami sepakat karena waktu luangnya pas ada. Bhumi libur, demikian juga dengan saya. Tidak ada kegiatan. Alhasil, kami pun berangkat beramai-ramai dengan menumpang becak.

Sepanjang perjalanan menuju pusat perbelanjaan itu, saya lihat wajah Bhumi begitu sumringah. Matanya berbinar. Begitu pula dengan Raditya, anak kedua kami yang masih berusia sembilan bulan. Semua tampak gembira.

Di atas laju becak yang berjalan pelan, suara tawa mereka membahana. Sampai-sampai beberapa kali saya lihat sisi kanan kiri jalan tampak orang-orang memperhatikan kami. Mungkin heran, mungkin pula menganggap kami aneh. Sebab di zaman sekarang sangat jarang orang mau pergi-pergi dengan menumpang becak. Kebanyakan berpikir, bahwa menumpang becak itu pemborosan. Boros waktu dan boros uang. Maka, kebanyakan pun beralih menumpang sepeda motor. Karena di samping irit ongkos, juga bisa melaju dengan lebih kencang sehingga banyak yang beranggapan hal itu bisa mengirit waktu.

Ya, apapun itu saya kira bergantung dari cara pandang tiap individu. Saya tidak akan menyangkal ataupun melawannya. Saya hanya bisa maklum.

Yang menjadi perhatian saya saat itu, bukanlah mereka yang berseliweran di tengah jalan atau pula yang memperhatikan kami dengan tatapan aneh mereka. Tetapi, Bapak yang mengendalikan laju becak kami. Saya tidak tahu persis bagaimana perasaan si Bapak ini. Sementara kami tertawa cekikian, ia sedang berdarah-darah memerjuangkan hidupnya. Tidak hanya memerjuangkan lembaran rupiah yang akan ia terima, melainkan juga memerjuangkan keselamatan hidupnya. Tidak hanya memerjuangkan keselamatan pribadinya demi keluarga, melainkan pula memerjuangkan keselamatan penumpangnya. Semua dipertaruhkan. Si Bapak ini melayani dengan penuh semangat. Tak peduli apakah penumpang sepenuhnya memercayakan keselamatan padanya atau tidak, yang terpenting ia terus mengayuh, terus menggenjot pedal becaknya. Apalagi dengan posisi duduk saya sebagai penumpang yang berada di depan dengan penutup yang menghalangi pandangan saya dari raut wajah si Bapak penarik becak ini. Sangat mungkin jika saya menjadi ragu-ragu apakah si Bapak penarik becak ini benar-benar menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati. Memerjuangkan kami agar sampai ke tujuan dengan selamat. Sama sekali saya tidak bisa memastikan. Tetapi, keraguan saya itu berangsur susut. Saya harus sepenuhnya yakin dan percaya pada si Bapak ini bahwa ia dapat dan mampu menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Selebihnya, adalah keputusan Gusti Allah.

Di lain sisi, mengayuh becak butuh sebuah kecakapan. Sebab tidak gampang. Saya pun belum tentu bisa dan belum tentu handal dalam memainkan seni mengayuh becak. Maka, sepenuhnya saya harus benar-benar percaya pada si Bapak ini. Bapak yang tengah melayani saya dan keluarga, mengantarkan kami sampai ke tempat tujuan.

Dan betapa lega rasanya, perjalanan kami lancar. Pak penarik becak ini mengantarkan kami dengan selamat. Mengantarkan kami sampai di depan pintu masuk pusat perbelanjaan. Sungguh sebuah kehormatan bagi saya menerima perlakuan yang sedemikian istimewa dari Bapak penarik becak ini.

Segera setelah kami menyelesaikan urusan pelunasan hak Bapak penarik becak itu, kami pun memasuki arena pusat perbelanjaan yang cukup ramai itu. Selama beberapa jam kami mendekam di dalamnya. Bhumi asyik dengan permainannya, istriku asyik bercengkerama dengan Raditya. Dan saya asyik mendampingi mereka. Semua gembira. Sampai-sampai kegembiraan itu menenggelamkan ingatan saya pada Bapak penarik becak itu tadi. Ya, saya benar-benar dibuatnya lupa. Luapan kegembiraan ini apakah juga dialami oleh si Bapak penarik becak itu? Saya benar-benar tidak memikirkannya. Lebih-lebih karena pelunasan hak itu sudah dilakukan.

Sekitar pukul 14.00 kami pun akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pusat perbelanjaan itu. Ya, kegembiraan itu sudah tumpah ruah di sana. Tak ada lagi sisa. Bhumi merasa sudah waktunya pulang ke rumah, istriku pun demikian. Begitu pula dengan saya.

Di emperan pusat perbelanjaan itu kami mencari becak tumpangan kami. Mendung kian menebal, hujan pun berangsur mengguyur. Saat gerimis itu, kami menemukan becak. Istriku menawar harga. Lalu, setelah semuanya beres kami pun menumpang becak. Tentu becak yang berbeda dengan saat kami berangkat tadi. Dan kali ini Bapak penarik becak yang kami tumpangi begitu ramah. Dari postur tubuhnya pun jauh lebih gempal dibandingkan dengan yang tadi.

Di tengah guyuran hujan itu, becak yang kami tumpangi melaju. Karena hujan, bagian depan dan samping kiri-kanan ditutup dengan plastik ukuran besar. Nyaris kami tak bisa melihat situasi jalanan. Meski begitu, kami yang berhimpit di atas becak itu merasakan kehangatan yang begitu dahsyat. Kehangatan yang belum pernah kami rasakan sebelumnya. Kami berbagi cerita, canda dan tawa. Semua tumpah di atas laju becak yang diguyur hujan. Suasana ini begitu membuat kami serasa rekat. Begitu romantis. Anak-anak begitu manja dalam pelukan kami. Seperti tengah mencari dan menemukan kehangatan yang begitu mendamaikan.

Tetapi, tiba-tiba, dalam hati saya terbesit sebuah pertanyaan, bagaimana dengan Bapak penarik becak itu? Apakah ia pernah merasakan hal yang sama kami rasakan saat ini? Berbagi kehangatan di atas laju becak.

Sempat terpikir pula, betapa besar jasa Bapak penarik becak ini kepada kami. Ia tidak hanya mengantarkan kami sampai ke rumah dengan selamat, tetapi juga telah melengkapi kemesraan kami di tengah guyuran hujan. Sementara, ia sendiri mengorbankan perasaannya untuk berbagi kemesraan dan kehangatan dengan keluarganya. Semestinya, di tengah hujan seperti ini, akan lebih membahagiakan apabila seluruh anggota keluarga berkumpul. Tetapi, ia tidak. Ia memilih untuk setia mengawal penumpangnya sampai tujuan dengan selamat.

Sesampainya kami di depan pintu rumah, saya pun mengucapkan terima kasih yang tak hingga. Adapun upah yang kami berikan, sudah tentu tidak akan bisa melunasi hutangnya pada keluarga. Hutang berbagi kehangatan dan kemesraan.

Betapa, pengalaman semacam ini membuat saya berpikir. Bahwa menjadi seorang penarik becak pun membutuhkan profesionalisme. Profesionalisme dalam maksud ini bermakna luas. Tidak semata berurusan dengan syarat-syarat administrasi yang birokratis. Melainkan, kesungguhan dalam bersungguh-sungguh. Ya, Bapak penarik becak ini adalah citra orang sukses dalam mengarungi kehidupannya. Sukses di sini, tidak semata sebagai hasil capaian, melainkan pada rasa tanggung jawab. Ia tidak pernah bermimpi untuk mendapatkan aneka macam penghargaan atau disebut-sebut sebagai tukang becak taladan atau segudang predikat lainnya. Tetapi, yang dilakukannya hanyalah mengusahakan agar ia tetap memegang prinsipnya sebagai penarik becak yang budiman. Bertanggung jawab pada penumpangnya, meski upah yang diterima belum tentu bisa mencukupi kadar kebutuhan. Ia tidak terlampau jauh melambungkan mimpinya, bahwa suatu ketika becaknya akan berganti mobil mewah. Sama sekali tidak. Yang ia pikirkan adalah bagaimana becaknya memberi berkah bagi dirinya, keluarganya, juga bagi penumpangnya. Sungguh mulianya Bapak penarik becak ini. Bahkan, kemuliaannya itu membuat saya merasa malu pada diri sendiri yang belum becus menjalankan apa yang harus dijalankan.

Pekalongan, 3 Januari 2015

K.R.G

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun