Mohon tunggu...
Ivi Wartapradja
Ivi Wartapradja Mohon Tunggu... Vox Audita Perit Literra Scripta Manet

Social Unrest

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Program MBG:Antara Cita-cita Mulia dan Kenyataan Pahit di Lapangan

1 Oktober 2025   13:18 Diperbarui: 1 Oktober 2025   13:18 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai solusi mengatasi krisis gizi anak Indonesia, ternyata menyimpan sederet masalah kompleks yang mengancam kelangsungan dan efektivitas program itu sendiri. Dengan anggaran mencapai Rp 71 triliun untuk tahun 2025, program ini seharusnya menjadi berkah bagi 82,9 juta anak Indonesia. Namun realita di lapangan justru menunjukkan gambaran yang memprihatinkan.

Data terbaru menunjukkan bahwa hingga September 2025, realisasi penyerapan anggaran MBG baru mencapai 23,9% atau sekitar Rp 17 triliun dari total anggaran. Angka yang cukup mengkhawatirkan mengingat program ini sudah berjalan hampir satu tahun. Bahkan, target sasaran penerima manfaat juga masih jauh dari harapan, dengan cakupan baru mencapai 4,8 juta anak atau hanya 5,8% dari total target.

Yang lebih memprihatinkan lagi, program ini justru diwarnai serangkaian insiden keracunan massal. Di Kadungora, Garut, 131 anak harus menjalani perawatan akibat keracunan makanan dari program MBG, memaksa pemerintah setempat menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Insiden serupa juga terjadi di Bogor, dimana investigasi Badan Gizi Nasional (BGN) menemukan bahwa masalah utama terletak pada bahan baku dan proses pemasakan yang tidak memenuhi standar.

Masalah mendasar program MBG ternyata lebih kompleks dari yang dibayangkan. Menurut dokter spesialis gizi Johanes Chandrawinata, penerapan prinsip HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points) sebagai sistem keamanan pangan standar internasional belum dilakukan secara optimal. "Dengan alokasi dana hanya Rp15,000 per porsi, sangat sulit untuk mendapatkan bahan baku berkualitas ditambah dengan SDM yang kompeten," ujarnya.

Persoalan anggaran yang terbatas per porsi ini memang menjadi dilema. Di satu sisi, pemerintah harus menjangkau sebanyak mungkin anak, namun di sisi lain, kualitas menjadi taruhannya. Padahal, untuk menyajikan makanan yang memenuhi standar gizi dan keamanan, diperlukan biaya yang tidak sedikit, termasuk untuk pelatihan SDM, sistem monitoring, dan infrastruktur yang memadai.

Tantangan logistik juga menjadi kendala signifikan, terutama di daerah terpencil seperti Papua dan NTT. Padahal, daerah-daerah inilah yang justru paling membutuhkan intervensi program gizi. Ironisnya, sementara anggaran MBG menyerap hampir setengah dari anggaran pendidikan, banyak sekolah di daerah 3T masih kekurangan fasilitas dasar seperti laboratorium dan akses internet.

Dampak ekonomi makro dari program ini juga patut menjadi perhatian. Vid Adrison dari Indonesian Economist Alliance (AEI) memperingatkan bahwa permintaan masif dari dapur MBG berisiko mendorong kenaikan harga pangan di pasar. "Kenaikan harga ini akan dirasakan oleh semua pihak, dan akan berat bagi masyarakat miskin," ujarnya.

Meski menghadapi berbagai tantangan, dukungan politik terhadap program MBG ternyata cukup kuat. Berbagai fraksi di DPR memberikan dukungan dalam pembahasan RAPBN 2026, meski disertai permintaan untuk pengawasan ketat dan transparansi. Bahkan Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa program MBG telah menciptakan 290.000 lapangan kerja baru dan melibatkan 1 juta petani, nelayan, peternak, dan UMKM.

Namun, optimisme ini perlu dibarengi dengan perbaikan sistem yang komprehensif. AEI merekomendasikan pentingnya kebijakan yang berbasis data, transparan, dan melibatkan partisipasi masyarakat. Mereka juga menekankan perlunya evaluasi oleh lembaga independen untuk menjaga objektivitas penilaian.

Untuk menyelamatkan program MBG, setidaknya ada tiga hal mendesak yang perlu dilakukan. Pertama, perbaikan sistem pengawasan dan akuntabilitas dari hulu ke hilir. Kedua, peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan standar keamanan pangan yang komprehensif. Ketiga, penyesuaian alokasi anggaran yang lebih realistis dengan mempertimbangkan kualitas dan keamanan pangan.

Program MBG memang memiliki cita-cita mulia, namun implementasinya memerlukan lebih dari sekadar anggaran besar. Diperlukan revolusi kompetensi, transparansi total, dan kesediaan belajar dari kesalahan. Tanpa itu, program triliunan rupiah ini berisiko menjadi pemborosan yang justru mengorbankan masa depan generasi yang ingin diselamatkannya.

Masa depan 82,9 juta anak Indonesia tergantung pada kemampuan kita memperbaiki program ini. Bukan dengan menyerah, tetapi dengan berani mengakui kelemahan dan memperbaikinya secara sistemik. Sebab, setiap anak berhak mendapatkan tidak hanya makanan yang bergizi, tetapi juga yang aman dan layak dikonsumsi(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun