Di sudut pasar yang becek, di tengah kerumunan yang bersorak, sosok Dedi Mulyadi---yang akrab disapa "Bapak Aing"---berdiri dengan iket kepala Sunda 'mahkuta wangsa' dan pangsi putih bergaya millennial yang penuh ornament. Ia memeluk seorang anak yang putus sekolah karena orantuanya kabur entah kemanadan diasuh bibinya mendengarkan keluhannya kemudian langsung memerintahkan 'sekdanya'  mengeluarkan sebuah aturan kebijakan di tempat. Kemudian ada lagi kejadian pasac banjir Bekasi, demi megikis persoalan  banjir, beliau menyisir aliran sungai dari  hilir ke hulu lalu dengan gaya  heroic yang diikuti para'punakawanny' memerintahkan penggusuran sebuah obyek destinasi wisata  tanpa prosedur sebagai akar masalah banjir atas nama aturan perundang-undangan.
Adegan ini viral, dibingkai sebagai "dewa penolong" -terutama di akar rumput-yang turun langsung menyelesaikan masalah rakyat. Namun, di balik panggung pencitraan ini, tersembunyi pertanyaan kritis: apakah romantisme budaya Sunda yang diusung KDM sekadar kostum politik untuk mengaburkan praktik otoritarianisme terselubung?
Gerakan Romantisme Eropa abad ke-18---yang dipelopori tokoh seperti Caspar David Friedrich---berontak terhadap rasionalisme Pencerahan. Mereka meninggikan intuisi, emosi, dan keterhubungan mistis dengan alam . Lukisan Friedrich "Wanderer above the Sea of Fog" menggambarkan manusia sendirian di tengah alam yang megah, simbol heroisme individual melawan struktur yang kaku. KDM, secara tak langsung, menjiplak pola ini: ia menampilkan diri sebagai "pejalan sunyi" yang melawan birokrasi lamban, mengatasnamakan "suara rakyat" sebagai sumber legitimasi. Romantisme ala Friedrich, seperti dikritik sejarawan seni, kerap mengabaikan realitas sosial di balik keindahan simbol Begitu pula KDM: seruan "cinta budaya Sunda" tak diikuti kebijakan sistematis pelestarian bahasa, seni, atau situs sejarah. Yang ada hanyalah kebijakan tidak populis tanpa kajian dan pendalaman filosofinya
Filosofi Sunda sesungguhnya bertumpu pada tiga prinsip: Silih Asih (saling mengasihi), Silih Asah (saling mencerdaskan), dan Silih Asuh (saling menjaga). Ini adalah etika kolektivisme yang menekankan harmoni sosial melalui musyawarah (mufakat) dan penghormatan pada kearifan lokal (pangawikan) . KDM justru menginjak prinsip ini. Ketika ia memutuskan memindahkan murid ke barak militer tanpa dialog dengan pra praktisi ahli dan stakeholderlainnya, ia melanggar Silih Asah. Saat ia menggusur destinasi wisata tanpa mempertimbangkan dampak pengangguran, ia menghancurkan Silih Asuh. Yang tersisa hanyalah simbol Pajajaran---kerajaan Sunda abad ke-15---yang diromantisasi sebagai "zaman keemasan", sementara kebijakannya justru meminggirkan nilai gotong royong yang menjadi jiwa masyarakat Sunda .
Media Sosial sebagai "Kanvas Romantisme" Kontemporer
Kanal YouTube KDM adalah senjata utama dalam proyek romantisasi diri. Ia merekam setiap "aksi heroik"-nya: membagi sembako, memarahi pejabat, atau berpose di sawah. Algoritma media sosial---seperti dijelaskan dalam analisis Romanticism in Pop Culture---mengubahnya menjadi narasi epik: sang pemimpin yang "dekat dengan rakyat kecil" . Pola ini mirip dengan fenomena influencer seperti Emma Chamberlain yang meromantisasi kesedihan pribadi menjadi konten estetis. Bedanya, KDM mempolitisasi estetika ini untuk membangun citra Ratu Adil atau Titisan Prabu Siliwangi versi digital. Efeknya mencengangkan: survei menunjukkan 81,02% warga Jabar mengenal KDM via medsos,(Jurnal Buana Komunikasi,2025) Â mengaitkannya dengan "kerja nyata", sekalipun kebijakannya tidak solutif .
Otoritarianisme dalam Baju Budaya
Pierre Bourdieu dalam The Logic of Practice (1990) menjelaskan bagaimana kekuasaan menggunakan modal simbolik---seperti tradisi atau budaya---untuk mengukuhkan dominasi . KDM memakai iket Sunda bukan sebagai penghormatan, melainkan alat legitimasi untuk menutupi pengabaiannya terhadap prinsip trias politica. Ketika ia mengambil alih fungsi legislatif (menggusur tanpa persetujuan DPRD) dan yudikatif (menghakimi "pelanggar" di tempat), ia menciptakan otoritarianisme baru yang terselubung sanjungan "Bapak Aing" . Samuel Huntington dalam The Third Wave (1991) mengingatkan: demokrasi membutuhkan institusi kuat, bukan sekadar pemimpin populer. Romantisme kepemimpinan KDM justru melemahkan institusi, menggantinya dengan kultus individu .
Kembali ke Filosofi Sunda yang Autentik
Di ujung kisah ini, Jawa Barat berdiri di persimpangan. Pilihan ada di tangan publik: terus terbuai romantisme simbolik, atau kembali ke akar Sunda yang sesungguhnya---bukan sekadar pangsi dan iket, tapi Silih Asih yang mengedepankan dialog, Silih Asah yang menghargai pengetahuan, dan Silih Asuh yang menjamin keadilan sosial. Seperti kata peribahasa Sunda, "Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak" (Gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak). Alam dan budaya Sunda mengajarkan keseimbangan, bukan heroisme satu orang yang justru merusak tatanan. KDM mungkin memenangkan pertempuran pencitraan hari ini, tetapi tanpa fondasi filosofis yang autentik, warisannya hanya akan menjadi "Laboratorium Kebudayaan" yang tak pernah terbangun---seperti janjinya yang menguap dalam gegap gempita konten digital (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI