"Kulo blitar, niki nunggu bade di jemput (saya blitar nunggu di jemput jam 7)"
"Kok mboten naik bus (kok tidak naik bus)?"
"Ngapunten arto kulo sampun telas, budale kulo nggeh numpak bus (maaf uang saya habis, tadi berangkatnya naik bus)"
Perbincangan berlanjut, ternyata rumahnya di kademangan kampong coklat Blitar. Dia mempunyai 2 anak perempuan kembar. Dia sudah berpisah baik-baik dengan istrinya, sekarang istrinya di nikahi teman karibnya.Â
Waktu pernikahan dia juga menyaksikan. Dia pasrah dan ikhlas karena sudah tidak bisa bekerja dan tidak bisa menafkahi lahir batin istrinya.
Cerita nyata di atas seringkali kita temui, jika berbaur dengan masyarakat. Problematika masyarakat begitu komplek. Terutama masalah kesulitan ekonomi. Membaca prolog di atas, menjadi ironi. Karena di sisi yang lain sebagian kecil dari rakyat Indonesia bergelimang harta.
Untuk menjadi gubernur sebenarnya tidak lah terlalu mahal jika dia sudah berbuat banyak untuk rakyat.
Ketidakberhasilan mendapatan rekomendasi untuk maju sebagai calon Gubernur, harus di syukuri oleh pak La Nyalla. Karena jika di paksakan untuk maju justru malu nantinya yang akan di dapatkan, dan uang milyaran akan menguap.Â
Uang 40 milyar dan 200 milyar sangat cukup untuk mengentaskan kemiskinan di jawa timur dan menciptakan 3 % wirausahawan baru sebagai syarat menjadi propinsi (Negara) maju.
Kata guru kami, Tuhan seringkali menyelamatkan kita dengan kejadian yang tidak mengenakkan.
Maaf. Wallohu'alam