Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Budaya Transaksional dalam Pendidikan

7 Agustus 2020   22:39 Diperbarui: 10 Agustus 2020   07:14 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Unsplash

Saat ini, kita hampir sulit untuk menemukan aktivitas apa saja di sekitar kita ini yang lepas dari hal-hal yang sifatnya transaksional. Sebab, hampir semua aktivitas yang kita jalani ini harus didasari dengan pengeluaran uang dengan jumlah tertentu. 

Kita mau makan, harus bayar. Kita mau berobat, bayar. Kita ingin kencing, bayar. Kita ingin pintar, bayar, dan seterusnya. Dan sebenarnya, kita bisa saja tidak membayar untuk mendapatkan atau melakukan itu semua, dengan syarat semua itu telah kita miliki sendiri sebelumnya. 

Kita tidak perlu lagi membayar jika kita makan dari beras dan lauk pauk sendiri. Kita tidak usah membayar, jika kita mandi di kamar mandi sendiri. Meskipun jika dihitung secara terperinci lagi tetap akan ada beberapa biaya operasional lainnya yang harus kita keluarkan, misalnya untuk mengganti biaya listrik. 

Berkaitan dengan urusan bayar membayar ini, saya ingin membawanya pada bahasan mengenai dunia pendidikan, dimana sektor ini seringkali menjadi keluh kesah bagi keluarga yang pra-sejahtera pada saat berniat untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi anak-anaknya. 

Dari fakta yang dapat kita temukan di lapangan, kita telah mendapati sebuah realitas, bahwa nilai UKT mahasiswa cenderung naik setiap tahunnya. Entah, kenaikan itu dilandasi oleh faktor apa. Apakah sebab mengikuti laju inflasi? Kesejahteraan untuk para dosen dan staf? Meningkatnya biaya operasional? Atau karena faktor yang lainnya. 

Jika kenaikan UKT ini memang didasari oleh meningkatnya biaya operasional dan dapat dibuktikan dengan rincian anggarannya secara terbuka-transparan, maka hal ini mungkin saja masih dapat dianggap wajar. 

Namun, jika yang mendasarinya adalah faktor untuk meningkatkan pundi-pundi keuntungan lembaga dengan mengejar setoran, maka saya rasa ini adalah sebuah kenaifan, mengingat tujuan utama sebuah lembaga pendidikan adalah untuk mengabdi pada negeri demi mencerdaskan anak bangsa. 

Dan kita pun tahu, jika kondisi ini terus saja dipaksakan maka aliran perjalanannya adalah berujung pada komersialisasi pendidikan. Selama bisa dimonetisasi kenapa tidak? Itulah yang senantiasa akan berkembang dalam pola pikir penyelenggaranya. Sungguh begitu ironisnya jika pendidikan di negeri ini dilandasi oleh hal-hal komersial yang seperti ini. 

Maka tidaklah mengejutkan jika kemudian pendidikan tidak akan mampu memberikan dampak yang signifikan dalam membangun karakter peserta didiknya, sebab pengajar maupun lembaganya pun belum mampu memberikan teladan dalam menjalankan nilai-nilai luhur pendidikan itu.

Dan sebaliknya, mereka justru menyuguhkan sajian akademis yang kental dengan aroma komersialisasi sebagai hidangan harian bagi peserta didiknya. Maka tidaklah mengejutkan jika kemudian yang mereka pahami dan mereka peragakan dari hasil proses pendidikan itu adalah bentuk komersialisasi yang persis dengan apa yang telah mereka terima saat berada di bangku kelas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun