(sebuah ucapan selamat kepada umat syiah yang akan merayakan Ghadir Khum)Peristiwa ini terjada pada perang Khandak di tahun 5 Hijriyah atau 527 Masehi. Duel maut tak terhindarkan antara jawara musyrikin Quraisy, Amr bin Abd Wad al-Amiri dengan pemuda belia kemenakan Nabi SAW, Sayyidina Ali bin Abi Tholib, ra.
Amr mencibir Ali karena dianggap sebagai lawan yang tak layak secara pengalaman, kemampuan, apa lagi usia. Mungkin pikirnya Amr, tak perlu menggunakan banyak jurus dan menguras keringat, ia hanya butuh satu ayunan pedang saja untuk menebas Sayyidina Ali hingga tewas.
Bahkan Nabi SAW pun konon harus menawarkan sampai tiga kali kepada para sahabat-sahabat lainnya, bertanya siapa yang akan menghadapi jagoan lawan. Dan tiga kali pula Sayyidina Ali bin Abi Tholib, pemuda yang dijuluki Nabi SAW sebagai pintu ilmu itu mengacungkan jarinya menawarkan diri dan duel tarung menghadapi Amr.
Benar saja, duel itu terjadi begitu singkat. Ali menebaskan pedangnya pada kekar kaki lawannya. Amr si jagoan bangkot terjungkal jatuh terlentang. Ali menyergap sigap menginjak lengan Amr yang masih menggenggam pedangnya, sementara mata pedang Ali sudah menekan leher kepala Amr. Hening..tegang. .mencekam. Amr tak berdaya.
"Cuih"! Amr meludahi wajah Ali. Ali tertegun. Lalu berpaling meninggalkan Amr sambil mengusap wajahnya yang berlumur ludah Amr. Â
Perhatian Penuh Adalah Tindakan Menyeluruh
Pada umumnya, dalam satu pertengkaran, saling memprovokasi bahkan menistakan lawan dengan kata-kata, juga tak jarang meludahi lawan, adalah bahan bakar demi makin sengit dan berkobarnya pertengkaran.
Para petarung sejati dalam martial art, untuk memperebutkan gelar juara juga terbiasa dicemooh penantang untuk memprovokasinya, agar sang juara bertahan kehilangan power akal sehatnya, lalu kalang kabut diatas ring, bernafsu dan gelap mata. Biasanya kalau ini terjadi, penantang akan sulit dikalahkan oleh sang juara.
Serupa tapi sungguhnya sangat signifikan berbeda dengan apa yang dialami Sayyidina Ali karamallahu wajhah. Ia bukan sedang mempertahankan gelar juara. Tapi ini perang, dimana hidup atau mati, membunuh atau dibunuh, nyawa pertaruhannya. Itu logika perang.
Disebutkan dalam riwayat bahwa Sayyidina Ali bin Abi Tholib, tidak mau melanjutkan membunuh lawannya, karena ia melihat masuknya unsur marah (baca: nafsu) pada dirinya (karena diludahi).
Saya kira, reaksi Sayyidina Ali saat itu bukanlah respon indrawi. Karena jika itu respon indrawi, maka tindakan yang muncul adalah tindaka parsial, terpisah-pisah. Respon indrawi memunculkan Subjek dan objek, si pengamat dan yang diamati, ludah, yang meludahi dan yang diludahi. Untuk itu apabila respon Sayyidina Ali adalah respon indrawi, maka Amr pasti menggelepar terkapar ditangan sang pemilik Zulfikar.