Di suatu pagi di sudut pasar Kota Bogor, sambil menunggu istri belanja di pasar, saya menyeruput Kopi Liong yang merupakan kopi khas masyarakat kelas bawah di kota hujan tersebut. Satu dua potong gorengan yang masih hangat juga turut menghangati perut, yang dari rumah belum sarapan.
Jika mau beli ikan segar, istri memang selalu mengejar pagi agar kebagian ikan yang masih bagus. Bogor memang jauh dari laut sehingga untuk dapat ikan laut segar agak susah.
Kembali lagi ke warung kopi, selain gorengan, disitu juga ada roti kukus, nasi kucing dan beberapa makanan lain yang satunya tidak lebih dari 3 ribu rupiah. Konsumennya  ya seputar para kuli pikul pasar, pedagang asong dan satu dua pengung pasar seperti saya.
Pagi itu bersama saya ada empat  konsumen lain yang sama-sama sedang ngopi. Dari tampangnya, dua tukang becak dengan selmpaang handuk kecil yang khas, dua lagi kuli pikul yang berusia tak muda lagi. Sesekali mereka menyapa saya dengan sangat sopan, tidak seperti pada teman -temannya yang kadang keluar bahasa kebun binatang.
Sebagai orang sunda tulen, saya sangat faham dengan bahasa sehari-hari. Memang begitulah bahasa akrab. Bahasa yang sopan sering kali menunjukan jarak antara yang bicara dengan lawan bicara. Saya hanya senyam senyum sambil berkomentar ringan dari yang mereka omongkan.
"Bu, berapa semua ? saya kopi satu gorengan dua,.... bapa-bapa sok ngabsen makan apa aja saya yang bayarin....". Setelah dihitung sama ibu warung, semuanya hanya 34 ribu. Dengan senyum penuh syukur, keempat bapa tersebut berterima kasih dan berlalu.
Hmm...... perasaan dengan uang 34 ribu rupiah tersebut segelas kopi starbucks juga gak dapat, tetapi di warung itu saya mendapatkan empat wajah bahagia.........