Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Emang Kenapa Kalo Gua Cina!: Sebuah Review atas Puisi "Ahok Kenapa Lu Cina"

18 Juli 2013   10:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:23 6869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(1)Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar kata “C-i-n-a”? Soal dikotomi pribumi dan nonpribumikah? Soal mata sipit, kulit kuning, pemilik toko-toko berjejer di pasar dan pusat perbelanjaan? Soal etnis yang tetap mempertahankan budaya dan istiadat leluhurnya yang berbeda dari masyarakat di mana mereka tinggal? Ataukah, soal Bruce Lie, Jacky Chan, atau Jet Lie?  Apa pun yang Anda bayangkan, semestinya itu menyadarkan kita bahwa di Indonesia ada satu etnis-- yang katanya-katanya sebagaimana berkembang menjadi prasangka-prasangka—yang menambah kian berwarnanya Indonesia. Sejarah pun telah mendokumentasikan konstribusi yang mereka berikan untuk negeri ini. Sejarah pun telah mencatat dengan tinta merah episode-episode kelam yang mereka alami di negeri ini. Tapi, hingga kini mereka tetap ada sekalipun prasangka-prasangka terhadap mereka tak juga memudar. Prasangka-prasangka yang muncul pada awalnya disebabkan oleh dominasi mereka terhadap sektor ekonomi negeri ini menyebabkan mereka menghindari pemakaian kata cina itu dan memilih kata Tionghoa bagi penyebutan etnis mereka. Entah kenapa kata cina terkesan sangat negatif sampai-sampai ada anekdot tentang seorang Ibu beretnis Cina saking kesalnya pada anaknya, memaki anaknya tersebut dengan umpatan “Dasar anak Cina!”. Tak ada yang suka menyebutkan kata cina itu dengan lafal yang tegas berbunyi c-i-n-a, untuk menghaluskan makna maka sering terdengar kata itu dilafalkan keingris-ingrisan menjadi “cai-na”. Yang justru menimbulkan penghargaan semu.

(2)Sebab itu pula, ketika sebuah puisi berjudul “Ahok Kenapa Lu Cina” karya Gunawan terbaca oleh saya, saya merasa surprised sekali. Puisi yang menggoda untuk dibaca, bukan? Dan, saya membaca puisi itu berkali-kali. Sebagai reviewer, saya sering berusaha membaca melewati batas-batas makna yang tersurat dan batas-batas konteks yang tampak pada teks. Tapi, puisi ini bukanlah puisi yang maknanya gelap, di mana maknanya di simpan oleh penulis pada lapisan-lapisan terdalam, padahal setiap lapisannya sudah memunculkan makna tersendiri pula. Kata-kata pada puisi ini terang-benderang sekali. Jadi, bukan puisi yang gelap. Puisi ini mendekati puisi pamflet. Di mana dalam puisi seperti itu, kata-kata yang dipakai adalah kata-kata denotasi. Cukup sekali membacanya bagi seorang awan sekalipun maknanya sudah tersingkap. Tapi, sekali lagi, saya membacanya berkali-kali.

(3)Lalu, apa keistimewaan puisi ini kalau begitu? Pertama, terdapat kata cina pada puisi ini. Di atas  sudah saya sampaikan bahwa kata cina berkesan negatif, sebuah stigma. Namun, dengan mengambil bentuk seolah-olah dialog, kata cina yang disampaikan oleh penulis puisi itu bukanlah penghinaan, tetapi justru penulis sedang “menyesali keadaan atau kondisi” yang dimiliki oleh “seorang teman”, sebab jika “keadaan atau kondisi itu” tidak ada, maka hal-hal yang lebih baik atau keadaa yang lebih baik bisa didapatkan “temannya” itu. Bagi saya, puisi ini berkesan sebuah dukungan dari seorang teman. Mengapa seorang teman? Penggunaan kata lu dan pilihan kata yang lugas menunjukkan dialog terjadi antara dua orang yang berkedudukan setara. Posisi ini ingin saya pertahankan, meskipun saya punya pemikiran lain, yaitu puisi ini bisa jadi sebuah dialog antara “tuan-hamba” dalam posisi yang subordinatif. Lalu, kalau begitu siapa tuan dan siapa hambanya? Saya melihatnya bahwa dalam puisi ini, tuan adalah si penulis dalam konteks sebagai rakyat, sedangkan hamba adalah Ahok yang berposisi sebagai pejabat yang harus mengabdi kepada rakyat. Bukankah begitu, pejabat adalah hamba bagi rakyatnnya?

(4)Kedua, keistimewaan lain puisi ini adalah Ahok, alias Basuki Tjahaja Purnama, yang kini menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta. Gaya kepemimpinan dan sepak terjang Ahok yang berbeda dengan pejabat-pejabat Ibukota sebelumnya telah menjadikannya harapan bagi mereka yang menginginkan perubahan yang lebih baik di Jakarta, tetapi sekaligus menjadi musuh bagi mereka yang tetap mempertahan status quo dan memperoleh keuntungan dari keadaan itu sekalipun menyusahkan rakyat. Penulis ini sudah jelas menunjukkan di mana  posisinya terhadap Ahok. Jelaslah, dia pendukung Ahok, “teman” bagi Ahok, sebab baginya, sebagaimana ditunjukkan oleh puisinya, Ahok itu lebih baik daripada pejabat-pejabat pribumi yang lebih suka korupsi, tindakan keras Ahok semata-mata untuk tujuan suci (membela kepentingan rakyat), lebih mencintai Indonesia dibandingkan pejabat lain, dan Ahok bukanlah Cina mafia yang menguras harta negara lalu kabur ke Singapur.

(5)Memerhatikan kaki puisi, di mana pada bagian tersebut biasanya terdapat nama tempat dan tanggal puisi tersebut dibuat, saya tersenyum. Tersenyum sebab ternyata fans Ahok tidak saja berada di Jakarta, tetapi juga ada di Medan. Mungkin, fans berat sebab ada keinginan penulis untuk menjadikannya wakil presiden, hanya tetap saja “ada sikap menyesali”, menyesali sebab ke-cina-an itu. Ya, kata cina—sekali lagi kata—memang bermasalah, sekaligus bagi fans berat!

(6)Wallahu a’lam

Tambun Selatan, 18 Juli 2013

AHOK KENAPA LU CINA Karya: Gunawan

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun