Mohon tunggu...
Agus Setyarso
Agus Setyarso Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hobby Menulis

Merdeka 100%

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Etiket Setengah Bangku

28 Januari 2019   12:28 Diperbarui: 11 Februari 2019   08:33 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) menjadi primadona bagi sebagian pekerja di Jakarta yang pulang ke rumah maupun sebaliknya. Perjalanan yang lumayan menyita waktu sekitar satu sampai dua jam ke arah Tangerang dan sekitarnya membuat setiap orang mendambakan dapat tempat duduk di dalam bus. Mendapati bangku kosong di dalam bus seperti mendapatkan durian runtuh.

Saya pun pernah mendapatkan kesempatan itu. Perasaan senang dengan sejuta harapan bisa istirahat sambil memejamkan mata akhirnya "dikabulkan". Lelah seharian bekerja dan rindu berkumpul keluarga sejenak bisa terobati dengan beristirahat di dalam bus. Tapi sayang, harapan itu pupus. Penumpang yang duduk di sebelah saya seperti tidak mau berbagi tempat duduk. Posisi duduk saya menjadi tidak nyaman, karena sebelah kaki saya terpaksa "berjuang" menopang bagian badan yang tidak tertopang tempat duduk alias posisi saya separuh duduk.

Dengan rendah hati, saya meminta seseorang di sebelah saya itu untuk berbagi tempat duduk. Saya pun bisa bergeser dan duduk meski tidak senyaman seperti yang diharapkan. Tidak ada apa-apa lah, yang penting saya bisa duduk, meski tidak nyaman.

Dalam perjalanan saya teringat kata-kata Mahatma Gandhi. "The eart is enough for seven generations, but it will never be enough for seven people greedy". (Bumi ini cukup untuk tujuh generasi, tapi tidak akan pernah cukup untuk tujuh orang serakah).

Mungkin tidak semua orang memiliki sikap tamak, tapi perilaku saling menghargai sulit terbentuk di dalam angkutan umum. Sikap sulit menghargai orang lain itu ternyata juga terlihat dalam lalu lintas di jalan raya. Menurut Peneliti di Center for Urban and Regional Studies, IB Ilham Malik, kondisi lalu lintas di sebuah kota mencerminkan kondisi kehidupan sosial masyarakat kota. Semakin kacau lalu lintas suatu kota maka kacaulah pula etika kehidupan masyarakat di kota tersebut.

Budaya berlalu lintas sejatinya sama dengan sikap seseorang di dalam angkutan umum. Keduanya adalah bentuk dari interaksi sosial. Kesalahan-kesalahan kecil seringkali dianggap sebagai hal yang biasa dalam budaya berlalu lintas juga terjadi dalam angkutam umum. Di dalam budaya berlalu lintas terdapat sebegitu banyak aturan dan larangan yang tidak lagi dianggap penting dan harus dihormati oleh pengemudi. Misalkan menerobos traffic light, melawan arah, dll.

Di dalam angkutan umum, orang juga tidak lagi mempedulikan orang lain. Bahkan, beberapa kasus bangku prioritas -ibu hamil, lanjut usia, ibu dan anak, difabel- di dalam bus kota dan kereta api seringkali diserobot penumpang yang tidak memiliki etiket (etiquette) di dalam angkutan umum.

Salam saling menghormati!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun