Permadi SH, pria nyentrik yang sering mengklaim dirinya sebagai penyambung lidah Bung Karno itu, mengeluarkan pernyataan yang dinilai kontroversial menyangkut pemberian gelar “Pahlawan Nasional” kepada Soekarno-Hatta oleh presiden SBY.
Sebagaimana diberitakan, spiritualist yang senang berbusana serba hitam ini menyatakan ketidak- setujuannya atas pemberian gelar pahlawan kepada dwi-tunggal proklamator kemerdekaan tersebut.
Ketidaksetujuan Permadi didasarkan pada fakta bahwa gelar Pahlawan Nasional di republic ini sudah disandang oleh ratusan orang tetapi kontribusi mereka tidaklah sejelas dan sebesar Bung Karno dan Bung Hatta. Karena itu, pemberian gelar pahlawan kepada Soekarno-Hatta dinilai Permadi justru merendahkan keduanya. Bung Karno dan Bung Hatta, tegas Permadi, tanpa diberi gelar pahlawan mereka secara otomatis (dari dulu) sudah pahlawan.
Terlepas dari ada atau tidaknya kepentingan politik yang menjadi motivasinya, pandangan Permadi itu menarik direnungkan, terlebih jika dikaitkan dengan kondisi kehidupan berbangsa hari ini.
Apalah artinya gelar (Pelajaran dari Shakespeare)
Selama Indonesia masih bernama Negara Kesatuan Republic Indonesia (NKRI); masih menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konsitusi negara maka selama itu pula jasa Soekarno—Hatta tidak bisa dihapuskan. Merekalah proklamator kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai tonggak berdiri dan eksisnya NKRI.
Dengan demikian, apa pun Soekarno-Hatta mau dijuluki atau disebut, tidak akan mengubah fakta peran keduanya dalam sejarah republik ini. Nama keduanya akan selalu terbawa dan disebut. Karena itu, mau diakui atau tidak, mau diberi gelar atau tidak, status pahlawan bagi Bung Karno dan Bung Hatta melekat dengan sendirinya.
Seperti ungkapan Shakespeare, apalah arti sebuah nama. Mau disebut apa pun ia, mawar atau rose, tak akan mengubah wujud fisik tumbuhannya: berbunga harum dengan batang penuh duri. Demikian juga Soekarno-Hatta, tanpa dikukuhkan dengan Kepres atau UU sekali pun, status kepahlawanan keduanya tak akan pernah bisa ditanggalkan dari sejarah NKRI.
Dalam konteks Soekarno-Hatta penganugrahan gelar pahlawan hanyalah sebuah pengakuan atau pujian terhadap jasa besar mereka. Tetapi, pernahkah kita bertanya “banggakah mereka dengan pengakuan atau pujian kita?”
Berdasarkan pandangan dan sikap (biografi) mereka dalam berjuang, rasanya pujian bukanlah sesuatu yang mereka kejar. Esensi perjuangan kedua bapak bangsa itu adalah membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan; agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain; dan bisa hidup lebih sejahtera, damai, adil, dan makmur.
Jika kita, sebagai anak bangsa, memang tulus ingin menghargai jasa the founding fathers itu bukanlah dengan memuja atau memuji mereka dengan sebutan pahlawan dan sejenisnya. Melainkan, meneruskan perjuangan mereka dengan menghayati dan menerapkan wawasan kebangsaan yang telah mereka gariskan dan mereka contohkan.
Apalah artinya pengakuan terhadap keagungan Bung Karno dan Bung Hatta jika visi mereka kita lecehkan dengan mengedepankan paham sectarian sempit seperti yang menggejala akhir-akhir ini. Alih-alih bangga, sebutan pahlawan boleh jadi akan mereka rasakan sebagai pelecehan.
Di sinilah letak kebenaran dan pentingnya pandangan (pernyataan) Permadi SH yang keberatan atas pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soekarno-Hatta oleh Presiden SBY.
Selamat Hari Pahlawan.