Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rhoma Irama Bentuk Partai Idaman (Islam Damai dan Aman), Sebuah Pembuktian

12 Juli 2015   23:57 Diperbarui: 12 Juli 2015   23:57 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sabtu (11/7/2015) Raja Dangdut, Rhoma Irama, mendeklarasikan partai Islam baru yang diberi nama Partai Islam Damai dan Aman (Partai Idaman). Hanya saja, meskipun mengusung nama Islam, partai ini menampilkan hal-hal berbeda dengan partai-partai Islam mainstream.


Perbedaan pertama, Partai Idaman tidak menggunakan simbol Islam untuk logonya, melainkan menggunakan simbol cinta (hati) yang dibentuk dengan pertemuan simetris jari telunjuk dan ibu jari tangan kanan dan kiri. Kedua, frasa yang akan jadi yel-yel kader partai ini, juga tertera di bagian dasar logo, adalah ‘Love Indonesia’. Ketiga, misi (jargon) Partai Idaman berbunyi “Menampilkan citra Islam yang rahmatan lil ‘alamin membangun Indonesia yang Pancasilais”.

Meskipun secara sekilas Partai Idaman tampak berbeda dengan partai-partai Islam lainnya, tetapi dari misinya meski mengusung kata ‘Pancasilais’, ada kesamaan mendasar partai ini dengan partai Islam yang sudah mapan yaitu menampilkan ‘citra Islam’. Pertanyaannya, apa itu citra Islam yang rahmatan lil ‘alamin? Standar moral seperti apa yang akan dijadikan acuan oleh Partai Idaman ini dalam berperilaku sosial dan politik nantinya?

Jejak Panjang Kiprah Politik Rhoma
Politik bukanlah barang baru bagi si Raja Dangdut. Pada paruh kedua dekade 1970-an hingga awal dekade 1980-an, Rhoma bergabung dengan partai Ka’bah PPP. Berkat ‘jasanya’ menjadi juru kampanye pada pemilu tahun 1977 dan 1982, PPP berhasil meraih suara yang sangat signifikan. Ironis baginya, partisipasinya pada PPP berbuah pencekalan aktivitas musiknya di televisi (TVRI) selama sedikitnya 11 tahun sejak 1977 oleh pemerintah Orde Baru.

Pencekalan itu agaknya membuat Rhoma Irama sadar lalu banting setir, dari idealis menjadi pragmatis, dengan mendekatkan diri dan bergabung dengan partai penguasa—Golkar. Pragmatismenya itu berbuah hasil ketika tahun 1992 dia terpilih menjadi anggota MPR mewakili golongan seniman dan artis. Pada pemilu tahun 1997, menjelang akhir kekuasaan Orde Baru, Rhoma Irama aktif menjadi juru kampanye Golkar. Kemudian, dalam era reformasi, setelah 10 tahun tidak terdengar kiprah poltiknya Rhoma kembali bergabung dengan PPP pada pemilu tahun 2009.

Seperti publik ketahui, pada pemilu 2014 Rhoma Irama ‘dipinang’ dan sempat digadang-gadang akan menjadi capres, atau paling tidak cawapres, dari PKB pimpinan Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Janji tiket capres/cawapres itu pun memotivasi Rhoma untuk all out menjadi juru kampanye dan juru lobi PKB. Entah berkat Rhoma (dikenal dengan Rhoma effect) atau karena kebetulan belaka, PKB pun sukses meraih suara melampaui capaian pada pemilu-pemilu sebelumnya. Capaian itu menjadikan PKB tak ubahnya seorang gadis-jelita genit yang menunggu pinangan.

Malangnya bagi Rhoma, realitas politik berkata lain. Raihan suara PKB yang dia yakini berkat Rhoma effect sama sekali ‘tak dihargai’ Cak Imin. Cak Imin berpandangan bukan Rhoma yang sukses mengangkat suara PKB melainkan mesin partai yang efektif di bawah kepemimpinannya. Rhoma pun ‘dibuang’. Seperti telah dicatat sejarah, PKB pun mengusung pasangan Joko Widodo- Jusuf Kalla, yang akhirnya memenangi Pilpres 2014.

Pembuktian Sang Raja
Berdasarkan catatan kontribusi Rhoma Irama dalam politik negeri ini, seperti dipaparkan di atas, tidaklah sulit memahami rasa ‘Penasaran’ yang dialami Si Raja Dangdut itu. Pengalamannya yang selalu merasa dianggap sukses ‘menjual’ parpol mediocre menjadi laku di masyarkat (PPP di pemilu 1997 dan 1982, Golkar 1997, dan PKB 2014) agaknya yang menumbuhkan keyakinan bahwa nilai jual politik dirinya cukup tinggi. Tentu keyakinan itu punya tolok ukur lain, yakni berdasarkan sambutan penggemarnya yang selalu tinggi dimanapun dia manggung, baik sebagai pedangdut atau pun sebagai da’i.

Di luar itu, pengalamannya dibuang atau ditinggalkan setelah bersusah payah menjadi pendorong mobil yang mogok (pada pemilu 2014) sepertinya membuatnya sadar. Bahwa ambisi politiknya tidak bisa hanya disandarkan pada kendaraan-politik tumpangan saja, melainkan harus kendaraan milik sendiri.

Hari ini, sejarah sudah mencatat bahwa Rhoma Irama telah menciptakan kendaraan politik yang bernama Partai Idaman. Partai ini pastilah akan menjadi sarana pembuktian apakah benar Si Raja Dangdut benar-benar memiliki tempat-politis di hati rakyat Indonesia.

Selamat berjuang Bang Haji, semoga sukses.

Salam Kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun